PUTERARIAU.com | JAKARTA — Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa dua orang saksi terkait perkara suap dan gratifikasi pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kota Dumai APBD-P 2017 dan APBD 2018, Senin (30/11/2020). Keterangan saksi untuk melengkapi berkas perkara Zulkifli Adnan Singkah, Walikota Dumai.
Dua orang saksi yang diperiksa KPK tersebut yakni Yudi Saptopranowo yang merupakan Kasubdit DAK Fisik II Direktorat Dana Perimbangan Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI, dan Rifa Surya yang merupakan mantan Kepala Seksi Perencanaan DAK Fisik Ditjen Perimbangan Keuangan periode Desember 2015 hingga Desember 2017.
Yudi dan Rifa diperiksa penyidik di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
“Kedua saksi diperiksa terkait dugaan suap yang dilakukan tersangka ZAS (Zulkifli Adnan Singkah),” ujar Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri.
Ali melanjutkan, penyidik KPK masih berupaya menyelesaikan berkas perkara Zulkifli AS dan sejumlah saksi masih dimintai keterangan.
“Status masih penyidikan, penyidik masih terus memeriksa saksi untuk melengkapi berkas perkara,” imbuh Ali.
Walikota Dumai, Zulkifli AS ditahan oleh KPK setelah diperiksa sebagai tersangka pada Selasa (17/11/2020) lalu. Penyidikan atas perkara ini sudah dilakukan KPK sejak September 2019 lalu berdasarkan pengembangan dari perkara dugaan suap terkait usulan dana perimbangan keuangan daerah dalam RAPBN Perubahan Tahun Anggaran 2018.
“Guna kepentingan penyidikan, KPK melakukan penahanan pertama Zulkifli selama 20 hari terhitung sejak tanggal 17 November 2020 sampai dengan 6 Desember 2020 di Rutan Polres Metro Jakarta Timur,” jelas Ali.
Sebelumnya sudah ada 12 tersangka lain, termasuk Yaya Purnomo selaku Kasi Pengembangan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Dirjen Pengembangan Pemukiman Kemenkeu.
Pada Maret 2017, tersangka Zulkili AS melakukan pertemuan dengan Yaya Purnomo di sebuah hotel di Jakarta. Dalam pertemuan itu, Zul AS meminta bantuan untuk mengawal proses pengusulan DAK Pemerintah Kota Dumai.
Lalu pada Mei 2017, Pemerintah Kota Dumai mengajukan pengurusan DAK kurang bayar Tahun Anggaran 2016 sebesar Rp22 miliar.
Di dalam APBN Perubahan Tahun 2017, Kota Dumai mendapat tambahan anggaran sebesar Rp22,3 miliar. Tambahan ini disebut sebagai penyelesaian DAK Fisik 2016 yang dianggarkan untuk kegiatan bidang pendidikan dan infrastruktur jalan.
Dan masih pada bulan yang sama, Pemerintah Kota Dumai mengajukan usulan DAK untuk Tahun Anggaran 2018 kepada Kementerian Keuangan. Beberapa bidang yang diajukan antara lain RS rujukan, jalan, perumahan dan permukiman, air minum, sanitasi, dan pendidikan.
Zulkifli AS kembali bertemu Yaya Purnomo membahas pengajuan DAK Kota Dumai yang kemudian disanggupi untuk mengurus pengajuan DAK TA 2018 Kota Dumai, yaitu: untuk pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah dengan alokasi Rp20 miliar, dan pembangunan jalan sebesar Rp19 miliar. Dan dalam pada pertemuan tersebut disanggupi oleh Yaya Purnomo dengan fee 2%.
Untuk memenuhi fee tersebut, Zulkifli AS memerintahkan untuk mengumpulkan uang dari pihak swasta yang menjadi rekanan proyek di Pemerintah Kota Dumai.
Penyerahan uang setara dengan Rp550 juta dalam bentuk Dollar Amerika, Dollar Singapura dan Rupiah pada Yaya Purnomo dan kawan-kawan dilakukan pada bulan November 2017 dan Januari 2018.
Untuk perkara kedua, Zulkifli AS diduga menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp50 juta dan fasilitas kamar hotel di Jakarta dari pihak pengusaha yang mengerjakan proyek di Kota Dumai. Penerimaan gratifikasi diduga terjadi dalam rentang waktu November 2017 dan Januari 2018.
Penerimaan gratifikasi ini tidak pernah dilaporkan ke Direktorat Gratifikasi KPK sebagaimana diatur di Pasal 12 C UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Oleh sebab itu, dalam dua perkara tersebut, dimana pada perkara pertama, Zulkifli AS dijerat Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang? Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perkara kedua dijerat Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001. [***]