PUTERARIAU.com | JAKARTA,
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) beberapa waktu lalu menyatakan akan memberlakukan sertifikat elektronik. Sertifikat elektronik tersebut merupakan bukti transformasi digital yang dilakukan oleh Kementrian ATR/BPN.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat (Humas) Yulia Jaya Nirmawati mengatakan sebanyak empat layanan sudah diintegrasikan menjadi layanan elektronik diantaranya Hak Tanggungan Elektronik (HT-el), Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT), Pengecekan Sertifikat Tanah serta Informasi Zona Nilai Tanah (ZNT).
“Sertifikat elektronik ini dapat dipastikan tidak ada lagi sertifikat tanah ganda karena semuanya sudah tersistem secara elektronik. Dan bisa dapat dengan mudah terdeteksi. Datanya sudah terintegrasi secara elektronik, fisiknya juga terintegrasi secara elektronik. Nanti cara kerjanya, masyarakat harus membuat email dan mengaktifkan email tersebut serta diinfokan kepada kantor pertanahan, apabila ingin membuat sertipikat elektronik. Jika sertipikat tanah elektronik sudah jadi, akan dikirim melalui email tersebut,” katanya.
Namun menanggapi informasi tersebut, Country Director RIGHTS (Regional Initiatives for Governance Human Rights & Social Justice) Foundation, Nukila Evanty, mendorong Kementerian ATR (Agraria dan Tata Ruang)/BPN untuk lebih mengoptimalkan kerja Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA) ketimbang membuat ‘rumit’ urusan tanah dengan e-certificate atau sertifikat tanah elektronik.
“Karena e-certificate ini masih belum terukur manfaatnya, kepastian hukumnya abu-abu dan banyak peluang ‘cacat’ dalam proses pelaksanaannya,” kata Nukila kepada wartawan, Sabtu (6/2/2021).
Nukila melanjutkan, saat ini masih banyak terjadi konflik agraria atau perselisihan antara orang, kelompok, golongan, terutama antara petani, masyarakat adat dengan pemilik perkebunan besar atau perusahan tambang yang mwmbutuhkan peran maksimal BPN (Badan Pertanahan Nasional).
“Data dari Kementrian Agraria sendiri mencatat ada 9000-an konflik tanah dan sengketa di pengadilan di tahun 2020. Lebih baik fokus pada konflik agraria yang kerap menimbulkan tindak kekerasan. Selama konflik berlangsung, tanah yang menjadi obyek konflik umumnya berada dalam keadaan status quo. Nah, apa yang dapat dilakukan kementerian?” tandas Nukila.
Seperti diketahui, Kementerian ATR/BPN telah menerbitkan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik Tanah. Menteri ATR/BPN, Sofyan Djalil menyatakan bahwa program ini sebagai wujud upaya pemerintah untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat.
“Kementerian ATR/BPN terus berupaya untuk memperbaiki mekanisme perizinan dan permohonan bagi masyarakat, dulu buat sertipikat kita tidak tahu berapa lama bisa selesai kalau tidak ada dorongan tidak bisa cepat, itu yang akan kita perbaiki maka dari itu Kementerian ATR/BPN terus mempercepat itu dengan layanan elektronik, mulai tahun ini kita perkenalkan sertipikat elektronik yang saat ini masih banyak masyarakat salah paham, BPN tidak akan menarik sertipikat, sertipikat lama tetap berlaku sampai transformasi ke digital,” kata Sofyan dalam sebuah webinar, Kamis (4/2/2021)
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menilai Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN tentang Sertifikat Tanah Elektronik melanggar aturan yang lebih tinggi.
“Penerbitan Permen terkait sertifikat elektronik ini melanggar aturan yang lebih tinggi, yakni PP Nomor 24 Tahun 1997 terkait Pendaftaran Tanah, PP Nomor 40 Tahun 1996 terkait HGU, HGB dan Hak Pakai, serta UU Nomor 5 Tahun 1960 terkait Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,” kata Dewi seperti yang dilansir dari Tempo, Kamis, 4 Februari 2021.
Dewi menjelaskan, permasalahan dari adanya peraturan menteri tersebut bukan soal elektronik atau nonelektronik. “Problemnya adalah, kita belum melakukan langkah awal dan utama, yaitu pendaftaran tanah secara nasional, sistematis dan serentak, tanpa kecuali,” katanya.
Terkait pendaftaran tanah, Dewi menjelaskan UU Pokok Agraria memandatkan pemerintah untuk meregister seluruh tanah di Indonesia. Pemberian surat bukti adalah tahap akhir.
Menurut Dewi, pemerintah juga seharusnya merevisi Pasal 1 PP Pendaftaran Tanah, termasuk soal surat ukur, buku tanah dan sertifikat. Juga Pasal 7 pada PP Nomor 40 Tahun 1996 terkait HGU.
“Pemerintah harus melihat dampak sosial lebih jauh dari percepatan legalisasi tanah dan digitalisasinya,” kata dia.
Selain itu, Dewi mengatakan bahwa rakyat berhak menyimpan sertifikat tanah asli yang telah diterbitkan. Hak ini tidak boleh hapus. Hal lainnya, sertifikat tanah elektronik, warkah tanah dan lain-lain dalam bentuk elektronik seharusnya menjadi sistem pelengkap saja, dan tujuannya memudahkan data base tanah di kementerian. “Jadi digitalisasi bukan bersifat menggantikan hak rakyat atas sertifikat asli,” ujarnya.[pr]