fbpx
Example 728x250
HedalineJakarta

Demi Rakyat, Syarwan Hamid Yang Minta Presiden Suharto Mundur

720
×

Demi Rakyat, Syarwan Hamid Yang Minta Presiden Suharto Mundur

Sebarkan artikel ini
Erwin Kurai Jr, wartawan senior Putera Riau di Jakarta yang saat itu sebagai saksi sejarah

Jakarta, Puterariau.com

Tokoh militer orde baru yang meminta Presiden Suharto mundur saat berhadap hadapan di Istana Merdeka Jakarta, yakni Letnan Jenderal Syarwan Hamid (77 tahun) meninggal dunia pukul 03.30 dinihari kemarin karena sakit setelah dirawat di Rumah Sakit Dustira Cimahi – Bandung, Kamis (25/3/2021).

Untuk diketahui, Jakarta pada tanggal 21 Mei 1998 suasananya sangat genting. Syarwan Hamid yang menjabat wakil Ketua DPR/MPR dari Fraksi ABRI memilih tidur di Gedung DPR/MPR dengan dikawal seorang ajudan dari kesatuan Prajurit Marinir.

Waktu itu pihak Kesekjenan DPR diminta menyiapkan ruang safety house buat Syarwan yang telah disiapkan di bawah tanah Gedung DPR RI.

Akan tetapi ruangan safety itu tak jadi digunakan. Syarwan juga akhirnya memilih tidak tidur di rumah dinas di Widya Chandra. Diam-diam Syarwan memilih tidur di ruang kerja di Gedung DPR RI bersama mahasiswa yang menduduki Gedung DPR RI, setelah Presiden Suharto Jenderal Bintang 5 menyatakan berhenti di Istana Merdeka, tidak lama setelah ditemui 5 pimpinan DPR yakni Harmoko, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, Ismail Hasan Metareum dan Fatimah Achmad.

Peta politik Ibukota Jakarta sebelum dan sesudah tanggal 21 Mei 1998 sangat memanas setelah kekuatan orde baru tiba-tiba melemah jadi 45 persen. Dan masih ada sisa kekuatan yang mau mengembalikkan lagi menjadi 55 persen dari kekuatan awal 73 persen.

Syarwan merasa dirinya bakal jadi target pembalasan oleh loyalis Suharto karena telah minta Presiden Suharto mundur, atau telah jadi militer yang tidak loyal tidak ikut komando tentara.

Gonjang ganjing Suharto mundur sudah muncul saat ketika Suharto sedang melakukan kunjungan ke Mesir.

Sebelumnya dalam hitungan hari, di seantero Jakarta sejak mulai tanggal 18 Mei 1998 tiba-tiba meledak bakar-bakaran gedung, pertokoan yang diikuti oleh penjarahan dan amuk masaa di jalanan sampai rasialisme.

Pada siang harinya Adnan Buyung Nasution sehabis menemui Pangkostrad, langsung menuju Gedung DPR Senayan, Jakarta.

Kedatangan Buyung diterima 4 pimpinan DPR RI minus Harmoko Ketua DPR/ MPR di lantai 3 Gedung Nusantara DPR RI.

“Dik Syarwan, apa tidak melihat telah terjadi bakar-bakaran di Jakarta, rakyat sudah marah marah. MPR agar menggelar Sidang Istimewa”, kata Buyung sambil berdiri dan menunjuk tangan kanan ke arah Syarwan.

Syarwan tidak kalah tangkas menjawab. Katanya, DPR sudah menerima aspirasi yang sama dari perwakilan masyarakat yang lain.

“Fraksi-fraksi juga sedang rapat untuk memutuskan sikap apa yang akan diambil untuk menjawab perkembangan politik di Jakarta akhir-akhir ini,” kata Syarwan Hamid yang lahir di Siak, Riau ini. Tidak lama setelah sesudah Buyung meninggalkan Gedung DPR.

Sebanyak 3 Fraksi di DPR dengan mengejutkan memutuskan setuju di gelar Sidang Istimewa MPR RI minus Fraksi ABRI.

Keputusan 3 Fraksi yakni Fraksi PPP, Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi PDI inilah yang kemudian dibawa saat pertemuan DPR dengan Presiden Suharto di Istana Merdeka pada tanggal 21 Mei 1998.

Tak lama seusai pertemuan itu, di hadapan Ketua Mahkamah Agung, Presiden Suharto tidak kalah menggegerkan menyatakan berhenti sebagai Presiden bertempat di Istana Merdeka. Padahal Suharto baru berkuasa kembali tidak sampai 100 hari.

Selamat Jalan Syarwan, Jenderal ABRI Reformis pembuka jalan demokrasi, bukan Jenderal balak kosong. Siap Jenderal.

Penulis, Erwin Kurai Jr, wartawan senior Putera Riau di Jakarta yang saat itu sebagai saksi sejarah. (erwin kurai/pr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *