Jakarta, (PR)
Hari ini Presiden Joko Widodo mengumumkan pemindahan ibukota baru ke Kalimantan Timur. Jokowi mengungkapkan alasan Pemerintah perlu segera memindahkan ibukota dikarenakan beban Pulau Jawa, khususnya DKI Jakarta yang sudah semakin berat. Terutama dalam hal kepadatan penduduk menjadi alasan utama pemindahan ibukota mendesak dilakukan, ujar Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (26/8/2019).
Menurut Jokowi, berbagai persoalan di ibukota itu bukan kesalahan dari Pemprov DKI Jakarta, namun karena besarnya beban perekonomian yang diberikan Indonesia.
Ini lebih karena besarnya beban perekonomian Indonesia yang diberikan kepada Jawa dan Jakarta. Kesenjangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa yang terus meningkat meski sejak 2001 sudah dilakukan otonomi daerah, Pemerintah telah melakukan kajian mendalam dan mengintensifkan studi pemindahan ibukota dalam tiga tahun terakhir, ulasnya.
“Hasil kajian tersebut menyimpulkan bahwa lokasi ibukota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagaian di Kutai Kertanegara Provinsi Kalimantan Timur,” ucap Jokowi.
Menurut pengamat militer Wibisono SH MH menyatakan di Jakarta pada Senin sore (26/8/2019) bahwa pemindahan ibukota adalah keputusan politik presiden Jokowi bukan keputusan rakyat.
Mengutip kajian Mabes TNI tentang kelebihan Propinsi Kalimantan Timur adalah ketersediaan lahan dengan status APL, hutan produksi dengan konsepsi HTI dan hutan produksi yang bebas konsesi. Aman dari bencana alam dan Karhutla, papar Wibi.
Sedangkan untuk ‘infrastrukturnya’, terdiri dari perlintasan dua jalan poros/utama termasuk jalur pesisir Samboja, Muara Jawa, Sangasanga, dilewati jalan tol, selanjutnya dekat dengan bandara internasional AM Sulaiman Sepinggan Balikpapan (56KM) dan bandara APT Pranoto Samarinda (65KM), dekat dengan Pelabuhan Terminal Peti Kemas Karingau blBalikpapan (45KM), dan Terminal Peti Kemas Palaran Samarinda (65KM), paparnya.
Sedangkan ‘letak geografis’, dekat dengan dua bandara, dekat dengan jalan tol Balikpapan-Samarinda, dan dilintasi oleh Alki II di Selat Makasar serta tidak berbatasan langsung dengan batas negara.
Untuk ‘demografi’, struktur demografinya heterogen, dan sebagian besar pendatang.
“Sementara itu, kekurangannya adalah daerah rawan banjir pada wilayah yang dekat dengan hulu DAs, ketersediaan sumber air tanah rendah, merupakan kawasan hutan lindung, dan rawan polusi udara dari penambangan batu bara,” terang Wibi.
*Pertahanan dan Keamanan*
“Masalah pertahanan dan keamanan merupakan bagian hal terpenting dari pemindahan ibukota, karena akibat perpindahan ibukota akan terjadi dampak sosial yang sangat besar. Pergeseran ibukota dapat membantu untuk percepatan pembangunan daerah tersebut dan sekitarnya dan menggeser roda ekonomi secara signifikan,” ujar Wibi.
Wibi menegaskan bahwa perpindahan ibukota merupakan persoalan yang mutlak sebagai produk keputusan politik Presiden Jokowi yang dihasilkan dari proses kajian mendalam di semua aspeknya untuk kepentingan NKRI jangka panjang. Oleh karena itu perpindahan ibukota harus meliputi berbagai hal baik dalam hal konstalasi domestik, regional maupun internasional.
“Jika tidak demikian, maka itu sama saja ‘bunuh diri’. Membawa NKRI pada kondisi yang rawan ancaman dalam semua bidang. Termasuk aspek pertahanan dan keamanan,” pungkasnya.
Sementara itu, pengamat sosial dan hukum, Siti Zulaikha Hamzah SH mengatakan bahwa memang masalah pemindahan ibukota sudah ada wacana sejak dahulu. Apalagi dikarenakan Jakarta sangat padat.
“Selain padat penduduk dan bangunan sudah padat sehingga wajar dipindahkan. Namun suatu hal yang perlu difikirkan adalah biaya pemindahan ibukota yang tidak mendukung secara ekonomi saat ini, tentu akan menciptakan hutang yang besar lagi,” katanya.
Jika ekonomi RI baik dan rakyat sudah sejahtera, tentu masih bisa dipertimbangkan. “Sementara, saat ini ekonomi sedang nyungsep, sehingga rencana pemindahan ini mesti dikaji lebih dalam lagi,” ungkap Siti Zulaikha Hamzah SH yang asli dari Sungai Gergaji Inhil ini. (beni/pr)