fbpx
Example 728x250
Breaking NewsHedalineNasionalSosial dan Politik

Pengamat Militer : Kerusuhan di Papua dan Papua Barat Melebar Jadi Seruan Referendum

1865
×

Pengamat Militer : Kerusuhan di Papua dan Papua Barat Melebar Jadi Seruan Referendum

Sebarkan artikel ini


Jakarta, (PR)

Kerusuhan di Papua dan Papua Barat sudah berlangsung sepekan. Informasi terakhir telah menyebabkan satu orang tentara dan dua warga sipil tewas. Ini merupakan informasi terakhir sejak Jumat kemarin menyusul kerusuhan yang terjadi saat demonstrasi di depan Kantor Bupati Deiyai.

Menurut pengamat militer Wibisono SH MH mengatakan pada Putera Riau pada Minggu (1/9/2019), protes yang berawal dari diskriminasi etnis dan rasisme itu telah berubah menjadi seruan referendum untuk merdeka.

Para pengunjuk rasa bahkan mengibarkan Bendera Bintang Kejora Papua Barat yang dilarang oleh Pemerintah Indonesia, dan mereka meneriakkan “Bebaskan Papua Barat”.

“Mengutip The Sydney Morning Herald, media asal Australia yang mengatakan bahwa berdasarkan video yang diperoleh dari The Associated Press, para demonstran di Abepura juga meneriakkan “Papua Merdeka” dan membentangkan poster ‘Kami bukan monyet,” terang Wibi.

Sedangkan ribuan orang turun ke jalan di Jayapura setelah terjadi di beberapa titik, ribuan orang turun ke jalan di Jayapura. Kerusuhan itu turut menyebabkan kerusakan dan kebakaran di Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) di Abepura. Tower telekomunikasi nirkabel atau Base Transceiver Station (BTS) milik PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) di Jayapura juga dibakar.

Aksi massa di Jayapura terjadi sebagai bentuk akumulasi dari kemarahan masyarakat Papua atas banyak persoalan yang mereka hadapi.

Masalah lain yang dianggap sebagai pemicu adalah langkah pemerintah memblokir akses internet di Papua. Sehingga yang dibakar itu [BTS] Telkomsel. Untuk itu Wibi menegaskan pemblokiran terhadap akses internet di Papua adalah keputusan yang salah. “Sudah sepekan akses internet di Papua diblokir. Ini akumulasi, mereka marah,” imbuhnya.

Sepekan ini, karena akses informasi yang terhambat itu sekaligus menunjukkan bahwa daerah “Otonomi khusus tidak berdaya.”

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Nation State Institute Indonesia (NSI Indonesia), salah satu akar konflik Papua adalah akibat tindakan represif terhadap masyarakat Papua. “Dan ini berlangsung sejak zaman Orde Baru,” katanya.

*KNPB Tuntut Referendum dan Serukan Mogok Sipil Nasional di Papua*

Mengutip wawancara CNN Indonesia, Juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Victor Yeimo mengatakan pihaknya akan menyerukan aksi mogok nasional di seluruh wilayah yang diklaim sebagai West Papua untuk mendesak referendum atau penentuan nasib Papua lewat pemungutan suara rakyat.

“Kita sudah serukan rakyat Papua untuk melakukan mogok sipil nasional di wilayah West Papua untuk mendesak Jakarta membuka ruang referendum di Papua Barat,” kata Victor.

Menurut Victor, itu merupakan bagian dari perjuangan KNPB yang akan dilakukan terus-menerus dalam menuntut referendum. Karena baginya Papua dalam kondisi “dijajah Indonesia”.

“Dalam dekolonisasi, itu kewajiban negara yang sedang menjajah untuk memberikan hak penentuan nasib sendiri,” kata dia.

Victor mengaku ruang dialog dengan Jakarta tetap terbuka. Namun, itu terbatas pada perundingan untuk meminta referendum dan pengawasan internasional.

Menurut Victor, tokoh-tokoh Papua yang selama ini bicara dengan Pemerintah adalah “orang-orang oportunis yang selalu masuk dalam konflik Papua untuk kepentingan pribadi dengan penguasa”.

KNPB sendiri dituding oleh mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso alias Bang Yos sebagai salah satu pihak yang diduga kuat di balik kerusuhan Papua dan Papua Barat.

Sutiyoso mengatakan, dengan berkekuatan 1.300 orang, TNPB menyebarkan anggotanya dalam 35 kelompok yang disebar di seluruh Papua. Dia mencatat kekuatan persenjataan mereka sebanyak 600 pucuk senjata api, dengan 200 di antaranya merupakan standar TNI.

Wibi menambahkan, bahwa Indonesia sendiri tak memiliki dasar hukum mengenai referendum. TAP MPR Nomor VIII tahun 1998 telah mencabut TAP MPR Nomor IV tahun 1993 tentang Referendum. Kemudian lahir UU Nomor 6/1999 tentang Pencabutan UU Nomor 5/1985 tentang Referendum.

Dengan pencabutan tersebut, konstitusi maupun Perundang-undangan di dalam sistem hukum Indonesia tidak mengakui atau mengenal lembaga atau model referendum, namun indikasi dis-integrasi Papua tidak bisa dianggap remeh, harus ada perhatian khusus untuk segera memulihkan keadaan dengan pendekatan humanis bukan represif, tandas Wibi.

*Asing Diduga Di balik Kerusuhan di Papua*

Amerika Serikat (AS) diduga berada di balik kerusuhan yang terjadi di Papua. Hal itu karena AS memiliki kepentingan terhadap sumber daya alam (SDA) yang cukup besar termasuk tambang yang terkandung di bumi Cenderawasih itu.

“Bahkan beberapa negara di kawasan Pasifik selatan justru mendukung kemerdekaan Papua. Selain itu diduga ada negara besar yang mempunyai kepentingan terhadap Papua terutama untuk menguasai sumber daya alamnya,” ujar Wibi.

Menurutnya, Papua menjadi panas dan merambat ke kota-kota lain di luar pulau Papua, menunjukkan bahwa ada pengaruh dan campur tangan pihak tertentu (asing) yang sengaja membuat keruh Indonesia melalui isu Papua.

“Tidak mengherankan jika ada indikasi campur tangan asing dalam kasus-kasus di Papua. Berbagai permasalahan di Papua yang ternyata tidak bisa cepat selesai hanya dengan otonomi khusus membuktikan bahwa kompleksitas masalah di Papua cukup tinggi,” jelas dia.

Dia juga berpendapat bahwa menangani Papua tidak mudah dan tidak bisa langsung dengan langkah represif sama dengan menangani pelaku teror dengan latar belakang ideologi, aparat keamanan mempunyai dasar hukum yang jelas yaitu UU No 5 tahun 2019 tentang anti terorisme.

“Kasus Papua beda konteks dengan kasus terorisme oleh kelompok dengan paham radikal. Isu tentang HAM bahkan rasisme dipropagandakan oleh pihak-pihak tertentu,” ungkapnya.

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa salah satu ancaman serius yang perlu dideteksi dan dicegah sejak dini adalah campur aduknya kepentingan kelompok separatis di Papua dengan kelompok radikal ideologi, yang mempunyai kepentingan sama untuk melawan NKRI.

Saat ini sudah nampak adanya provokasi dari kelompok radikal ideologis kepada aparat keamanan untuk represif terhadap kelompok anti NKRI di Papua. Kelompok radikal ideologis sengaja ingin membenturkan aparat keamanan dengan anti-NKRI, diduga untuk mendorong terjadinya konflik di Papua sehingga membuka peluang bagi kelompok radikal ideologis untuk menunjukkan eksistensinya.

“Pemerintah perlu hati-hati dalam menangani kasus Papua, namun Pemerintah juga tidak boleh terlihat lemah terutama jika sudah menyangkut kedaulatan negara. Unjuk rasa yang menggunakan simbol-simbol bertentangan dengan kedaulatan negara harus dicegah dan harus ditindak tegas,” pungkasnya. (beni/pr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *