Pekan ini para organisasi buruh gelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI. Salah satunya yang keras disuarakan adalah menolak revisi Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003.
Menurut pengamat publik, Wibisono SH MH Sabtu siang (5/10/2019) bahwa ada kekhawatiran setelah direvisi Undang-Undang ini justru lebih pro ke pengusaha dan malah melemahkan buruh.
Ada beberapa poin apa yang dinilai melemahkan nasib buruh bila UU ini direvisi. Pertama, masalah pesangon dan PKWT. Dalam beberapa kajian yang sudah berhembus sejak tahun 2006 dan 2012, salah satu revisi yang melemahkan buruh adalah penurunan jumlah pesangon bagi para buruh.
“Mengacu pada isu kedua revisi sebelumnya memang banyak poin yang diprotes. Yang udah ada kajiannya itu mereka ada poin soal upah pesangon, revisinya mendorong turunnya jumlah pesangon,” kata Wibi.
Kedua adalah soal kontrak kerja. Ada poin yang menjelaskan kontrak perjanjian kerja dalam waktu tertentu (PKWT) ditingkatkan jadi lima tahun yang sebelumnya cuma tiga tahun. Hal itu dilakukan karena pengusaha menginginkan kontrak tidak tetap bisa melihat stabilitas politik selama lima tahun.
“Lalu kemudian juga PKWT yang di Pasal 59 mau ditambah jadi 5 tahun. Kan yang sudah ada di UU itu maksimal 3 tahun. Waktu itu, kalangan pengusaha bilang saya mau dapat kepastian sesuai kondisi politik, di kita kan lima tahunan, maka dia minta bisa maksimal 5 tahun,” ulas Wibi.
Ketiga adalah point outsourcing pun jadi momok dalam kajian sebelumnya. Poin itu menjelaskan perusahaan diberikan izin untuk mengangkat karyawan sebagai outsourcing tanpa melihat itu masuk pekerjaan inti ataupun pendukung.
Yang terakhir adalah menyoal kelonggaran bagi tenaga kerja asing (TKA). TKA mau diperluas jabatan dan waktu kerjanya.
“Lalu terkait TKA asing mau diperlonggar juga waktu itu. Padahal yang sekarang jelas Pasalnya, jabatan tertentu dan waktu tertentu, kan itu artinya dibatasi TKA-nya,” kata Wibi.
Sementara itu, menurut Presiden Sahabat Pekerja Indonesia (SPI), Azhari Fadli menyatakan sudah saatnya undang-undang ketenagakerjaan direvisi. Pasalnya beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menguntungkan pengusaha bisa merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan menjadi menguntungkan buat kaum buruh.
“Kalau menurut saya, ya kita juga harus berani merevisi agar keputusan MK itu bisa masuk dalam tubuh UU 13. Justru aturan yang menguntungkan dan hal-hal baik itu tidak jalan karena tidak di-addopt dalam batang tubuh UU 13,” jelas Azhari.
Lanjutnya, salah satu putusan MK memberi keuntungan buat buruh adalah soal PHK. Dalam pasal 164 ayat 3 dijelaskan buruh boleh di PHK dengan alasan efisiensi, namun hingga kini alasan efisiensi dinilai masih rancu.
Dalam putusan MK No.19/PUU-IX/2011 yang menguji konstitusionalitas Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, dijelaskan efisiensi terjadi apabila perusahaan tutup baik sementara ataupun permanen.
“Ada beberapa putusan MK yang justru baik menurut saya untuk buruh, misalnya dalam Pasal 164 ayat 3 tentang PHK dengan alasan efisiensi. Dimaknai dalam putusan MK, yang dinamakan efisiensi itu perusahaan tutup,” pungkasnya. (beni/pr)