Jakarta, (PR)
Fenomena buzzer akhir-akhir ini menimbulkan kegaduhan di masyarakat dan menjadi dilema karena keberadaan buzzer tidak dapat dilarang. Kalau dilarang bisa bertentangan dengan nilai demokrasi.
“Buzzer juga punya hak mendapatkan penghasilan dan punya hak bersuara, cuma banyak buzzer yang kerjaannya memperkeruh keadaan, ini bentuk proxy war,” ujar pengamat militer Wibisono di Jakarta, Sabtu (12/10/2019).
Menurutnya buzzer muncul dari akibat kelonggaran dan kebebasan menyiarkan informasi melalui media sosial (medsos). Fenomena ini berubah saat kebebasan menyiarkan informasi dipakai untuk tujuan tertentu dengan penggiringan opini publik. Lebih parah lagi buzzer juga mulai melakukan praktek doxing atau mencari dan menyerbarkan informasi pribadi.
“Buzzer yang tergolong negative (proxy war) bisa menyebarkan fitnah dan kebencian, ternyata tumbuh subur di Indonesia. Lebih miris, setelah diteliti, ternyata mereka menjadi alat kampanye penguasa untuk menggebuk lawan politiknya,” kata Wibi.
Mengutip hasil riset dua orang (Samantha Bradshaw dan Philip N Howard) peneliti dari Universitas Oxford, Inggris cukup mencengangkan. Riset berjudul The Global Disinformation Order: 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation itu menguak 70 negara termasuk Indonesia terbukti menggunakan buzzer untuk menekan kelompok oposisi dan memecah belah rakyat.
Sedangkan menurut H. Abdul Rozaq (Gus Rozaq) Target buzzer itu, lebih untuk kepentingan politik. Menumbuhkan fanatisme buta, tanda tanda korban buzzer:
• Pertama, mereka ketakutan dengan khilafah. Padahal khilafah itu hanya bayang-bayang yang dibuat buzzer.
• Kedua, tidak peduli isu komunisme, sebab kader komunis inilah yang menyetir buzzer.
• Ketiga, warga NU ditakut-takuti jamiyahnya akan menjadi fosil.
• Keempat, tambah Gus Rozaq, mereka merasa paling NU, sehingga nahdliyin yang tidak ikut politiknya dibatal-batalkan baiat NU-nya.
• Kelima, antipati kepada HTI, karena HTI yang ‘kecil mungil’ itu berhasil dibesar-besarkan oleh buzzer. Ini semua kerja politik. Kita tertipu,” tambah Gus Rozaq sambil tersenyum dan berharap semua segera sadar.
Sementara itu, menurut Adhie Massardi, Ketua Umum Perkumpulan Swing Voters (PSV) Indonesia juga turut menyoroti permasalahan buzzer di negeri ini. Kehadiran para pendengung alias buzzer sangat mengganggu proses demokrasi di tanah air. Sebab, mereka muncul dengan sebaran fitnah dan ujaran kebencian.
Secara satire, mantan jurubicara Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid itu menguraikan bahwa seburuk-buruk sampah yang ada di muka bumi adalah sampah demokrasi. Sementara sampah terburuk dari demokrasi ada pada buzzer.
“Seburuk-buruk sampah demokrasi adalah buzzer,” terangnya dalam akun Twitter pribadi, Minggu (6/10/2019).
Ada kandungan khusus dalam diri buzzer sehingga disebut paling buruk. Adhie menyebutnya sebagai kategori B3. “Ini sampah kategori B3 (bahan berbahaya dan beracun),” urai Adhie lebih lanjut.
Ia memastikan bahwa kehadiran buzzer tidak memiliki manfaat. Mereka justru akan menjadi racun yang mematikan bagi masyarakat dan kehidupan demokrasi tanah air. Termasuk, berbahaya bagi majikannya sendiri di kemudian hari. “Buzzer tiada guna bagi siapapun, bahkan akan segera meracuni & mematikan pemiliknya sendiri,” tandasnya.
Minggu ini Tempo menurunkan berita bertajuk ‘Saatnya Menertibkan Buzzer Jokowi.’ Sudah beberapa minggu ini Tempo kembali sehat’, topik-topiknya menggigit.
Tempo menuliskan bahwa keberadaan buzzer-buzzer Jokowi membahayakan demokrasi. Mereka memproduksi kabar bohong yang didengungkan di media sosial untuk mempengaruhi opini publik. Dan fatalnya para pendukung Jokowi banyak yang menelan mentah-mentah semua informasi yang diciptakan para buzzer itu.
Ironisnya para buzzer itu dipelihara dan difasilitasi Istana. Mereka kerap kali diundang dan dijamu di Istana. Istana yang seharusnya menjadi pusat komunikasi publik yang berfungsi untuk mendiseminasikan dan mengedukasi publik, malah berfungsi sebagai pusat hoax nasional.
Buzzer-buzzer politik dikerahkan dan dibiayai oleh parpol untuk memanipulasi opini publik. Dalam laporan itu dibeberkan bahwa politikus, partai-partai politik, dan kontraktor swasta di Indonesia menggunakan buzzer untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah/partai, menyerang lawan politik, dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik.
Media dan para buzzer itu tidak berpikir atas efek yang ditimbulkan. Akibatnya menumpulkan daya kritis publik, mereka cenderung emosional bila merespon informasi yang tidak sesuai dengan persepsi mereka, sikapnya kasar dan berani menggertak dan mencaci siapa saja yang mengkritisi pemerintah.
Realitas ini sungguh menyedihkan, demi kekuasaan dan kepentingan politik, mentalitas publik dirusak sedemikian rupa. Mereka juga yang menciptakan kegaduhan di ruang publik selama ini dan mengakibatkan publik kita terpecah belah.
Kepala staf Kepresidenan Moeldoko sebelumnya mengaku pihak istana sudah beberapa kali meminta para buzzer agar berhenti membuat gaduh di media sosial.
“Buzzer ini kan muncul karena perjuangan menjaga marwah pemimpinnya. dalam situasi ini, relatif sudah enggak perlu buzzer buzzeran,” kata Moeldoko di gedung Krida bhakti Jakarta Jumat (4/10). (beni/pr)