Jakarta, (PR)
Dunia saat ini sedang digegerkan oleh merebaknya penyebaran virus corona dari China. Semua negara saat ini khawatir virus ini bakal memukul perekonomian dunia. Indonesia pun bakal berdampak.
Menurut Menteri Kordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyebutkan bahwa Virus Corona datang tiba-tiba. “Virus corona itu datangnya begitu mendadak, dan China juga langsung menghentikan kegiatannya apalagi di Wuhan. Kalau kita lihat, bursa China drop 9 persen pagi ini,” kata Airlangga di Jakarta, Senin, pekan lalu.
Sedangkan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa kinerja ekspor Indonesia bakal terpengaruh akibat adanya wabah virus corona. Pasalnya, China merupakan salah satu negara utama tujuan ekspor RI.
“Tapi rasanya kuartal I mungkin akan sangat sulit. Dan itu nanti pengaruhnya kepada seluruh dunia termasuk Indonesia dari mulai jalur tourism, harga komoditas, dan ekspor secara umum juga akan terganggu,” ujar Sri Mulyani
Sementara itu, menurut pengamat kebijakan publik Wibisono saat dikonfirmasi Putera Riau pada Senin malam (10/2/2020) mengatakan bahwa pernyataan Sri Mulyani yang secara terbuka mengisyaratkan bahwa ekonomi Indonesia menghadapi ancaman serius.
“Saya dapat konfirmasi dari rekan yang usaha logistik, bahwa semua ekspor ikan ke China terhenti. Mau ekspor gimana ? pesawat cargo juga dilarang terbang ke China. Bukan itu saja, industri pengalengan ikan yang biasa mendapatkan ikan beku dari China juga terancam berhenti produksi. Banyak industri yang butuh bahan baku penolong ( linked product ) dari China, juga sudah mulai kawatir. Karena stok mereka rata rata udah menipis, yang sudah habis stok terpaksa berhenti produksi,” katanya.
Ancaman PHK akan terjadi, belum lagi harga komoditas utama Indonesia akan jatuh. Karena China menjadi pemicu harga naik atau turun atas komoditas global. Yang jelas harga minyak sudah duluan anjlok.
Pariwisata yang merupakan industri dengan tingkat tradeble tinggi , juga anjlok. Menurut Luhut Binsar Panjaitan, berdampak pada ekonomi Indonesia. “Sudah sekarang itu dilarang, nggak ada yang datang (turis China). Lebih parah lagi sekarang, Bali itu sepi. Singapura itu sekarang sepi. Kita Manado habis, Bintan juga nggak ada sama sekali,” katanya.
“Kita kehilangan 1,7 juta wisatawan asal China. Hampir semua industri perhotelan dan penerbangan itu dibiayai dari kredit bank. Kalau sampai pendapatan menurun itu akan berdampak kepada meningkatnya NPL. Ini akan semakin renta ekonomi nasional kita,” imbuh Luhut.
Padahal kinerja ekspor RI tahun lalu anjlok, terjadi defisit neraca perdagangan sepanjang tahun 2019. “Kitapun mengalami defisit primer terparah. Upaya recovery economy lewat kebijakan ditumpukan kepada adanya Omnibus Law. Tetapi sampai kini pengesahaan omnibus law terus tertunda,” bebernya.
“Pemerintah berharap penyeimbang menurunnya ekpsor dan dampak dari virus corona adalah kebijakan investasi tahun lalu di sektor property dan kontruksi. Yang jadi permasalahan adalah darimana duitnya. Hampir semua BUMN rata rata sudah melewati ambang batas DER, yang sulit menarik dana perbankan. Belum lagi pasar uang regional dan global sedang terpuruk semua, yang tidak mungkin bisa menyerap obligasi korporat,” ulas Wibi.
Sementara itu, realisasi bantuan dari Abu Dhabi dan AS untuk investasi ratusan triliun kini masih terkendala regulasi soal pembentukan sovereign wealth fund sebagai skema pembiayaan.
Investasi dari China jelas sulit terealisir. Wabah bencana virus corona bukan hanya melanda China, tetapi ini melanda dunia. Apalagi dunia sedang suffering akibat krisis trade war.
“Kepedulian kita terhadap China adalah kepedulian terhadap diri kita sendiri. Apalagi negara terjebak dengan hutang, sangat rentan dengan penurunan ekonomi. China memang painfull akibat virus corona ini namun mereka memiliki tabungan besar dan sumber daya yang tak tergantung dari luar. Itu sangat mudah melakukan economy adjustment. Tetapi dunia termasuk Indonesia akan menderita karena beban hutang dan tipisnya tabungan untuk bertahan hidup ditengah badai krisis akibat virus Corona ini,” pungkas Wibisono. (beni/pr)