Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi kembali menjadi sorotan masyarakat. Kini, ia dihujat lantaran mau mengganti ucapan assalamualaikum dengan Salam Pancasila.
Yudian dilantik oleh Presiden Joko Widodo pada Rabu, 5 Februari 2020. Ia menggantikan posisi Yudi Latief yang mundur dari jabatan Kepala BPIP pada 2018. Belum sebulan menjabat Kepala BPIP, Yudian didesak mundur. Bahkan, ada yang meminta BPIP dibubarkan gara-gara pernyataan Yudian.
Menurut pengamat militer dan pembina LPKAN (Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara), Wibisono, pernyataan Yudian ini salah kaprah dan memancing konflik horizontal. Pernyataan sebelumnya bahwa agama musuh Pancasila saja belum reda, malah ditambah pernyataan yang kurang pantas untuk diterima nalar masyarakat.
“Pernyataan Yudian sangat menampar Pemerintah yang sekarang telah giat-giatnya mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila yang semakin luntur di masyarakat,” ujar Wibisono pada Putera Riau, Minggu malam (23/02).
Pada era globlisasi (modern) ini banyak rakyat Indonesia yang sudah mulai meninggalkan ideologi dan dasar mereka sebagai rakyat Indonesia, yaitu ‘Pancasila’. Menurut kitab Sutasoma yang dikarang oleh Empu Tantular, Pancasila artinya “Pelaksanaan kesusilaan yang lima” atau “berbatu sendi yang lima”.
Pancasila dipakai untuk menjadi dasar guna mengatur segala bentuk arah kehidupan serta gerak dari pemerintahan negara yang memiliki tujuan untuk mengatur setiap penyelenggara negara yang ada didalam bingkai negara Republik Indonesia.
“Arti lambang Pancasila penuh akan makna, Pancasila jangan dibenturkan dengan agama. Salam Pancasila tidak bisa mengganti kata salam umat Islam yang universal, fungsi Pancasila salah satunya merupakan asas kerohanian yang religius-spiritual dan tertib hukum di Indonesia,” ulas Wibi.
Namun, walaupun dengan arti dan fungsi yang sedemikian hebatnya di era globalisasi ini banyak rakyat Indonesia yang lama-lama sudah mulai meninggalkan Pancasila tersebut, terutama pada sila pertama yang berbunyi : ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Bunyi sila ini jelas bahwa kita berlindung kepada Tuhan dan berdiri berdasarkan agama yang beragam di Indonesia.
“Apakah kita pernah memunajatkan sila ini kepada Tuhan ? Saya belum pernah mendengar sejak jaman Bung Karno sampai sekarang untuk berdoa dan memunajatkan sila ini dengan khusus, padahal di setiap sumpah jabatan Presiden dan seluruh pejabat negara selalu dibacakan, artinya sila pertama ini hanya dijadikan simbol saja,” bebernya.
Wibi memaparkan, untuk itu supaya Tuhan Yang Maha Esa melindungi segenap rakyat perlu adanya rekonsiliasi nasional yang sungguh- sungguh, tidak ada lagi dendam masa lalu. “Kita bermunajat ke Tuhan untuk kesejahteraan rakyat indonesia yang adil dan makmur, saya takut ada haluan-ideologi lain atas maksud seruan salam Pancasila oleh Ketua BPIP,” ungkapnya.
*Pancasila Benteng Pertahanan Terhadap Ideologi Asing*
Pada Era globalisasi ini banyak memunculkan berbagai alat teknologi modern yang mendatangkan budaya luar negeri masuk ke Indonesia dan menjadi suatu hal yang bisa diikuti oleh rakyat.
Masuknya era modern-globalisasi banyak fenomena dimana-mana dan ada batasan seakan memudar dikarenakan terjadi berbagai perkembangan di segala aspek kehidupan, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
”Dengan terjadinya perkembangan aspek kehidupan khususnya di bidang iptek maka manusia dapat mengetahui adanya perkembangan informasi dari luar negeri maupun dalam negeri. Dampak tersebut tidak selalu menghasilkan positif tetapi ada juga negatif yaitu perubahan yang terjadi akibat di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi informasi,” paparnya.
Arus informasi yang terbuka ini, akan ada dampak negatif terjadi di karenakan masyarakat kurang bisa mengambil dampak baik dari globalisasi, sehingga lebih banyak mengambil sisi negatifnya dibanding sisi positifnya, terutama saat ini telah ada industri “Proxy War” yang menghasilkan berita hoax.
Maka dari itu, kata dia, di era globalisasi memberi tantangan yang bisa mengancam kepribadian jati diri bangsa, bangsa Indonesia sekarang berada di pusaran arus globalisasi dunia.
Wibi mengungkapkan bahwa prioritas pendidikan Pancasila saat ini bukan pada pelajar dan mahasiswa, namun lebih kepada masyarakat umum secara luas. Pendidikan Pancasila dan UUD 1945 saat ini masih ada di kurikulum pendidikan nasional, sejak SD, SMP, SMA bahkan memasuki universitas.
“Pendidikan tentang Pancasila ini melupakan masyarakat umum atau kebanyakan. Saya kira prioritas saat ini adalah mengembalikan arti sebenarnya Pancasila kepada masyarakat umum,” kata Wibi yang juga pemerhati pendidikan ini.
Maka untuk mempelajari Pancasila perlu tiga hal yakni metode, substansi, dan sasaran. Kalau pelajar dan mahasiswa itu sudah ada di kurikulum pendidikan, yang menjadi problem itu masyarakat umum.
“Masyarakat umum yang dimaksud adalah organisasi masa (Ormas), politisi, dan birokrasi, serta kembalikan Pancasila manjadi falsafah hidup bangsa indonesia, saya berharap Presiden dapat meninjau ulang atas terpilihnya Yudian menjadi ketua BPIP, apalagi disana ada mantan presiden Megawati dan Mantan Wapres Try Sutrisno, malu rasanya kalau tokoh-tokoh nasional tersebut jadi ikutan jatuh marwahnya,” pungkas Wibisono. (beni/pr)