Jakarta, (PR)
Perlu adanya penyegaran personalia pada BUMD PT GNE agar lebih progresif melihat peluang dan tantangan. Selama ini personalia lama PT GNE tak mampu melihat peluang keuntungan pada sektor Kelautan dan Perikanan Nusa Tenggara Barat.
Sebelumnya seputar ekonomi lobster NTB sudah diuraikan. Karena itu, Pemprov NTB harus ada penyegaran dan restrukturisasi peran BUMD NTB, PT. Gerbang NTB Emas (GNE) untuk terlibat dalam skema penangkapan benih, pengelolaan, pendederan, manajemen, pembesaran hingga ekspor agar NTB bisa segera mengambil manfaat kesejahteraan dari potensi lobster.
Ketua Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI), Rusdianto Samawa menyebutkan bahwa PT GNE harus menyadari bahwa munculnya para investor untuk ekspor dan budidaya lobster harus dijemput dengan menjalin komunikasi di berbagai pihak dengan investor Jepang, Korea, Taiwan, Thailand, Hongkong, Singapore, Vietnam, China, dan lainnya yang tertarik melakukan pembudidayaan benih lobster dan ekspor benih bening lobster.
Pertimbangannya pada perubahan Peraturan Menteri tentang lobster yakni dalam rangka menjaga keberlanjutan ketersediaan sumber daya perikanan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, kesetaraan teknologi budidaya, pengembangan investasi, peningkatan devisa negara, serta pengembangan pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.). “Hal ini harus dijemput, paling penting menyusun strategi,” katanya.
Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam skema kebijakan: penangkapan, perdagangan, pengeluaran (ekspor), pembesaran dan restocking benih lobster memperluas peluang Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Yang terpenting, menghadirkan teknologi budidaya benih lobster dengan hitungan bisnis cukup baik. Maka, PT. GNE mengambil peran aktif dan progresif untuk menghadirkan teknologi yang tepat untuk budidaya benih lobster.
Ada opsi untuk ekspor dan pembesaran benih lobster. Kalau tidak dibesarkan benih lobster akan mati sia-sia, kemungkinan hidupnya tinggal 1 %. Tapi kalau dibesarkan, maka memiliki peluang Survival Ratenya 70%. Namun, masalah lain lagi, di Indonesia Lobster hanya maksimal hidup hanya 40%. Karena dipengaruhi faktor alam. Belum hadirnya teknologi yang bagus.
Hal itulah yang perlu dilakukan PT GNE yakni mengintervensi lobbi untuk bisa mengatur kembali ketentuan penangkapan dan/atau pengeluaran Lobster (Panulirus spp.) yang perlu ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.) yang baru di wilayah Negara Republik Indonesia. Regulasi ini diharapkan bisa menjelaskan apapun masalah yang selama ini dihadapi dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Karena PT GNE harus menyadari, bahwa petani tidak sanggup memelihara benih lobster sehingga beratnya menjadi 200 gram karena biayanya mahal. Begitu juga ketika PT. GNE membeli benih lobster ukuran 100 gram, kemudian diminta petani untuk membudidayakan supaya beratnya menjadi 200 gram, mereka juga tidak sanggup. Karena mereka tak bisa menjamin benih lobster seberat 100 gram yang dipelihara akan tetap hidup semuanya. Sehingga beratnya menjadi 200 gram.
Maka, itu pentingnya PT GNE bekerja menghadirkan teknologi budidaya yang bagus. Kalau ada, budidaya bisa aman dan bisnisnya akan lancar. Sehingga bisa secara maksimal mengembangkan pembudidayaan secara sendiri oleh GNE.
Sementara peraturan menteri baru yang akan datang juga menjelaskan tentang pola penangkapan dan pengeluaran (ekspor). Sesuai pada rancangan Pasal 2 yakni: penangkapan dan/atau pengeluaran lobster (Panulirus spp.), di atau dari wilayah Negara Republik Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ketentuan: 1). tidak dalam kondisi bertelur yang terlihat pada abdomen luar; 2). Lobster pasir (Panulirus homarus) ukuran panjang karapas di atas 6 (enam) cm atau berat diatas 150 (seratus lima puluh) gram per ekor; atau). 3). Lobster jenis lainnya ukuran panjang karapas diatas 8 (delapan) cm atau berat diatas 200 (dua ratus) gram per ekor.
Hal ini untuk ekspor lobster tangkapan alam dan hasil budidaya yang sudah layak ekspor. Persfektif sangat objektif, posisinya tidak menangkap sedang bertelur dengan abdomen luar (telurnya sudah posisi diluar karapas). Tentu cara abdomen luar ini membuat nelayan penangkap lobster memudahkannya identifikasi sehingga tidak menangkap. Dari peraturan tersebut, harus belajar dari kegagalan kelola potensi sekitar 2.246 orang nelayan Lobster di NTB akan bangkit kembali ambil bagian. Masing-masing nelayan lobster di Kabupaten Lombok tengah sebanyak 873 orang, Lombok Timur 1. 074 orang, dan Lombok Barat sebanyak 229 orang.
Penjelasan lanjutnya pada Pasal 2 Ayat 2 dan 3 rancangan Peraturan Menteri baru, bahwa penangkapan dan/atau pengeluaran Benih Bening Lobster (Puerulus) serta pengeluaran (ekspor) Lobster (Panulirus spp.) dengan ukuran lebih besar dari ukuran Benih Bening Lobster (Puerulus) sampai dengan ukuran yang lebih kecil dari 150 (seratus lima puluh) gram untuk pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan syarat ketentuan.
Pertama, sumber Benih Bening Lobster (Puerulus) berasal dari area perairan di WPPNRI dengan kelimpahan stok dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sesuai dengan hasil kajian Komnaskajiskan. Kedua, setiap orang penangkap Benih Bening Lobster (Puerulus) harus terdaftar dalam kelompok nelayan penangkap Benih Bening Lobster (Puerulus) di lokasi penangkapan sumber Benih Bening Lobster (Puerulus).
Ketiga, penangkapan Benih Bening Lobster (Puerulus) harus dilakukan dengan menggunakan alat tangkap statis. Keempat, pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) dalam negeri baik yang dibentuk oleh setiap orang harus melaksanakan kegiatan usaha di Provinsi yang sama dengan area perairan sumber Benih Bening Lobster (Puerulus) dan di lokasi yang sesuai dengan Rencana Zonasi Wilayah Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kelima, pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) dalam negeri dapat dilakukan dalam satu sistem usaha atau dalam bentuk segmentasi usaha, dengan memperhatikan daya dukung lingkungan perairan sesuai dengan rekomendasi Direktorat Jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan budidaya.
Keenam, pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) sesuai segmentasi pembudidayaan masing-masing, harus menyisihkan 1 (satu) persen dari sumber Lobster (Panulirus spp.) yang dibesarkan dalam ukuran minimal 5 (lima) gram untuk pemulihan stok lobster di area perairan tempat pengambilan Benih Bening Lobster (Puerulus); dan
setiap orang penangkap Benih Bening Lobster (Puerulus) maupun pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) dalam negeri ditetapkan oleh Direktorat Jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan budidaya.
Ini yang dimaksud pembudidaya benih lobster harus restocking (kembalikan) ke alam sebesar 1 persen berukuran 5 gram sebagai keberlanjutan. Hal ini tujuannya untuk menjaga stok induk lobster dan sumberdaya telur lobster. Selain itu, menjaga keseimbangan alam dan lingkungan sekitar wilayah perairan diseluruh Indonesia agar tidak punah.
Diantara semua legalisasi penangkapan, pengeluaran lobster dan benih bening lobster, ada hal paling penting, yakni pengawasan yang ketat. Sesuai Pasal 8, bahwa pengawasan komoditas Benih Bening Lobster (Puerulus) dan Lobster (Panulirus spp.) itu sendiri di instalasi karantina ikan dan/atau di tempat pemasukan dan/atau pengeluaran, dilakukan oleh Badan yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang karantina ikan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Badan yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang karantina ikan.
Kemudian pasal 2 ayat 4, bahwa penangkapan dan/atau pengeluaran Benih Bening Lobster (Puerulus) untuk diekspor dari wilayah negara Republik Indonesia hanya dapat dilakukan dengan syarat ketentuan: pertama: penangkapan dan/atau pengeluaran Benih Bening Lobster (Puerulus) untuk ekspor hanya diberikan kepada eksportir yang telah memenuhi kewajiban untuk melaksanakan kegiatan pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) di dalam negeri.
Kedua, sumber Benih Bening Lobster (Puerulus) berasal dari area perairan di WPPNRI dengan kelimpahan stok dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sesuai dengan hasil kajian Komnaskajiskan; Ketiga: waktu pengeluaran Benih Bening Lobster (Puerulus) dari wilayah negara Republik Indonesia dilaksanakan dengan mengikuti ketersediaan stok di alam yang direkomendasikan oleh Komnaskajiskan.
Keempat, setiap orang penangkap Benih Bening Lobster (Puerulus) harus terdaftar dalam kelompok nelayan penangkap Benih Bening Lobster (Puerulus) di lokasi penangkapan sumber Benih Bening Lobster (Puerulus); Kelima: penangkapan Benih Bening Lobster (Puerulus) harus dilakukan dengan menggunakan alat tangkap statis.
Keenam, setiap orang yang melaksanakan ekspor Benih Bening Lobster (Puerulus) dikenakan kewajiban membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak per satuan ekor Benih Bening Lobster (Puerulus) dengan nilai yang ditetapkan oleh Kementerian yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang keuangan negara.
Ketujuh, setiap orang yang melaksanakan ekspor Benih Bening Lobster (Puerulus) yang telah melaksanakan kegiatan pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) di dalam negeri wajib untuk menyisihkan 1 (satu) persen dari sumber Lobster (Panulirus spp.) yang dibesarkan dengan ukuran minimal 5 (lima) gram untuk pemulihan stok di area perairan tempat penangkapan Benih Bening Lobster (Puerulus).
Kedelapan, pengeluaran benih bening lobster untuk kepentingan ekspor wajib menunjukkan Surat Keterangan Asal (SKA) yang diterbitkan oleh dinas yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang kelautan dan perikanan pada pemerintah daerah setempat.
Kemudian, setiap orang yang melaksanakan ekspor, menangkap Benih Bening Lobster (Puerulus) dan pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) ditetapkan oleh Direktorat Jenderal terkait hal itu. (beni/pr)