fbpx
Example 728x250
Breaking NewsHedalineIndragiri HilirJakartaNasionalPeluang UsahaRiauSeputar Indonesia

Data Lahan Persawahan Tak akurat, Pernyataan Mantan Menteri Pertanian Bikin Gaduh

1725
×

Data Lahan Persawahan Tak akurat, Pernyataan Mantan Menteri Pertanian Bikin Gaduh

Sebarkan artikel ini


Jakarta, (PR)

Mantan Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyebut data lahan sawah yang diolah Badan Pusat Statistik bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang melalui skema Kerangka Sampel Area (KSA) sangat tidak akurat.

“Saya mau sampaikan sekarang karena kalau saya sampaikan sebelumnya takut gaduh,” ujar Amran saat melakukan serah terima jabatan Menteri Pertanian di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Jumat (25/10).

Menurut pelaku usaha pupuk organik Wibisono, ungkapan mantan menteri Pertanian terlambat. Kenapa tidak dia ungkapkan saat masih menjabat dengan alasan tidak mau membuat gaduh.

“Saya menilai dengan diungkapkannya setelah lengser dari Mentan justeru makin membuat gaduh,”, ujar Wibi pada Putera Riau di Jakarta, Selasa pagi (5/11/2019.

Menurut Amran, setelah dicek ulang, ketidakakuratan data lahan sawah yang dikeluarkan BPS mencapai 92%. Wow….

“Data pangan yang ada dengan teknologi tinggi itu salah, dengan citra satelit itu salah. Ini harus diperbaiki,” kecamnya.

Dengan kesalahan data luas sawah, ia menyebut kuota subsidi pupuk akan berkurang hingga 600 ribu ton. Hal tersebut akan membuat banyak petani tidak bisa mengakses pupuk sehingga membuat produksi turun.

“Kalau produksi turun akhirnya impor masuk. Jadi data itu ada dua. Ada data pertanian, ada data mafia,” tandasnya.

Sebagaimana telah diberitakan sebelumnya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang bersama Badan Pusat Statistik telah mengeluarkan data luas baku sawah terbaru yang dihimpun dengan metode kerangka sampel area (KSA).

Pada data anyar itu disebutkan luas baku sawah di Tanah Air hanya 7,1 juta hektare (ha), jauh di bawah data luas sawah lama yang dikeluarkan Kementerian Pertanian sebesar 8,1 juta ha. (OL-2).

Wibisono menambahkan bahwa sebelumnya sering mengkritik tentang perbedaan data statistik ini, tapi tak pernah digubris oleh Mentan. Apalagi terkait dengan lahan sawah dengan kebutuhan pupuk subsidi yang diterima petani.

“Petani sering mengeluh karena tidak kebagian subsidi pupuk, Gimana mereka swasembada kalau masalah pupuk saja masih semrawut. Apalagi ditambah dengan adanya impor beras yang terus bertambah, ini kegagalan Mentan,” jelas Wibi yang juga mempunyai konsep ketahanan pangan berbasis platform teknologi pertanian modern ini.

Perlunya Audit Lahan Pertanian

Dengan kondisi saat ini Kementerian Pertanian harus mengaudit lahan pertanian dengan mengadakan data citra satelit resolusi tinggi dan resolusi menengah yang dapat digunakan untuk menyusun peta dasar lahan sawah yang lebih akurat dengan menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) dan teknik penginderaan jauh (remote sensing).

Penggunaan data citra satelit resolusi tinggi, seperti: QuickBird, Ikonos, GeoEye, maupun WorldView sangat diperlukan untuk meningkatkan tingkat akurasi dan presisi hasil, karena penggunaan data citra satelit resolusi sedang seperti Landsat 7 dapat mengurangi tingkat akurasi hasil.

Lanjut Wibi, penggunaan data citra QuickBird yang dilakukan dengan proses orthorektifikasi dengan GCP (ground Control Points) sebanyak 10 GCP dan 22 GCP akan menghasilkan RMS error masing-masing adalah 0,564 meter dan 0,546 meter, dan bila hanya dilakukan dengan proses rektifikasi dengan 10 GCP dan 22 GCP akan menghasilkan RMS error masing-masing 0,937 meter dan 0,876 meter.

“Hal ini berdampak terhadap tingkat akurasi hasil, yang mana hasil luas yang di digitasi dari hasil citra yang diothorektifikasi memiliki rata-rata prosentase kesalahan 1% dan hasil luas yang di digitasi dari hasil citra yang direktifikasi memiliki rata-rata prosentase kesalahan 4%.

Hasil lain ditunjukkan dari lahan sawah yang didigitasi dari data citra Landsat 7 memiliki rata-rata prosentase kesalahan 16%, hal ini juga ditunjukkan dari hasil pemetaan sebaran sawah didaerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.

“Bahwa terdapat selisih hasil yang cukup besar antara hasil interpretasi Landsat 7 dengan data BPS yakni 588.451 Ha, yang mana luas sawah hasil interpretasi Landsat 7 dan BPS masing masing adalah 3.645.745 Ha dan 3.057.294 Ha,” jelas Wibi.

Dengan telah dilakukannya pembangunan basis data lahan sawah tersebut yang disusun berdasarkan informasi luas dan jenis lahan sawah secara tabular yang dilengkapi dengan informasi intensitas pertanaman dan produktivitas, kondisi jaringan irigasi per-wilayah administrasi Kecamatan, Kabupaten, Provinsi dan Pusat. Informasi tabular tersebut terintegrasi secara spasial dengan peta digital yang dapat disesuaikan dengan perkembangan data dan kenyataan yang terus berkembang di lapangan, sehingga dapat dijadikan acuan petugas lapangan dalam menginput/mengupdate informasi data hasil monitoring di lapangan.

Selanjutnya peta hasil audit lahan berupa peta lahan sawah dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian untuk dapat dimanfaatkan oleh para petugas di lapangan (mantri tani/KCD) secara rutin untuk melakukan update atau memvalidasi luas sawah di wilayah masing-masing melalui pemanfaatan alat ukur digital (GPS) yang perpaduan dengan program Indonesia Agriculture. Selain itu penggunaan alat GPS tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengukur luas tanam, luas panen dan serangan OPT yang diperlukan untuk membuat laporan bulanan.

“Dengan metoda ini maka informasi luasan sawah akan dengan mudah di update dari tahun ke tahun, sehingga perhitungan produksi dapat lebih mendekati akurasi yang sebenarnya,” tandas Wibi lagi.

Disamping itu peta hasil audit lahan pertanian tersebut, untuk dapat dijadikan sebagai salah satu bagian dalam kebijakan satu peta (One Map Policy) untuk referensi tunggal dalam informasi geospasial sehingga dengan mudah dan benar dimanfaatkan masyarakat secara luas dan juga sebagai bahan dalam merencanakan tata ruang untuk mempertahankan lahan pertanian berkelanjutan dalam mencegah terjadinya alih fungsi lahan. Dengan adanya One Map Policy dapat dimanfaatkan untuk mengatasi permasalahan dalam sejumlah instansi yang masih ada memiliki peta berdasarkan sektoral dan kepentingan masing masing, sehingga dapat menimbulkan masalah antara pemerintah dengan pengusaha, pungkas Wibi.

Serikat Petani Indragiri Sayangkan Pernyataan Menteri Pertanian Yang Terkesan Terlambat

Sementara itu, Ketua Serikat Petani Indragiri, Beni Yussandra SE cukup menyayangkan pernyataan mantan Mentan yang dinilai terlambat. “Ketika menjabat, beliau mengetahui kesalahan fatal seputar data, kenapa tidak diungkap sejak dulu,” sesalnya.

Ketua SPI saat bersama petani padi baru-baru ini

Jika data secara nasional di Pusat sudah terjadi kesalahan, apalagi di daerah yang notabene jauh dari pakar-pakar yang menanganinya. Di Inhil dan beberapa wilayah di Riau saja, sampai saat ini belum terlihat progres dari instansi terkait seputar pertanian masyarakat.

“Petani pun makin menjerit karena bantuan Pemerintah sangat bernilai ‘Vested Interested’, hingga bisa dilihat hari ini bagaimana kondisi aktual petani di lapangan. Bagaimana bisa membantu petani kalau data yang tidak akurat,” ungkap Beni.

Tentunya, data yang masuk ke Kabupaten, Propinsi dan Pusat terkesan dipaksakan seadanya. Apalagi dikaitkan dengan pernyataan mantan Menteri yang menyebut tingkat ketidakakuratan data BPS itu hingga 92 persen. (pr/fdl)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *