fbpx
Example 728x250
HedalineInternasionalJakartaNasionalOpiniSosial dan Politik

Diplomasi Budaya dan Resonansi ‘Om Shanti’ Presiden Prabowo di PBB, Strategi Soft Power Indonesia Dalam Civilizational State

123
×

Diplomasi Budaya dan Resonansi ‘Om Shanti’ Presiden Prabowo di PBB, Strategi Soft Power Indonesia Dalam Civilizational State

Sebarkan artikel ini

Oleh : Laksamana Muda Dr. Surya Wiranto, SH MH

Intervensi Presiden Indonesia Prabowo Subianto pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (SMU PBB) tanggal 23 September 2023 menjadi sebuah fenomena diplomatik yang signifikan. Penutup pidatonya yang membahas dukungan bagi solusi dua negara untuk Palestina dengan frasa “Om Shanti, Shanti, Shanti, Om” tidak hanya mengejutkan audiens global tetapi juga menandai sebuah strategi diplomasi budaya yang canggih.

Naskah akademik ini menganalisis momen tersebut sebagai sebuah instrumen soft power yang memanfaatkan akar peradaban Indonesia yang dalam, yang berpadu dengan identitas keislaman moderatnya.

Melalui pendekatan kualitatif dengan analisis wacana, penelitian ini berargumen bahwa tindakan tersebut bukan sekadar gestur simbolis, melainkan sebuah pernyataan strategis Indonesia sebagai sebuah civilizational state yang mampu menjembatani tradisi yang berbeda. Implikasinya merekomendasikan pengintegrasian warisan budaya serupa ke dalam kebijakan luar negeri yang lebih luas untuk memperkuat posisi Indonesia di kancah global, menawarkan pelajaran bagi negara-negara dengan latar belakang budaya dan agama yang kompleks.

*Diplomasi Budaya, Soft Power, Civilizational State, Prabowo Subianto, PBB, Om Shanti, Identitas Nasional, Hubungan Internasional*

Sebuah Momen Diplomatik yang Menggetarkan di Podium Global pada forum multilateral paling bergengsi di dunia, Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (SMU PBB) di New York, setiap kata dan gestur dari para pemimpin dunia ditimbang dan ditafsirkan dengan saksama. Tanggal 23 September 2025 menjadi tanggal yang bersejarah ketika Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menyampaikan pidato kenegaraan yang tidak hanya berisi substansi politik yang krusial mengenai dukungan terhadap solusi dua negara untuk perdamaian di Palestina, tetapi juga diakhiri dengan sebuah penutup yang tidak terduga dan penuh makna. Setelah menyelesaikan pernyataannya dalam bahasa Indonesia, Presiden Prabowo, dengan tangan terkatup, mengucapkan “Om Shanti, Shanti, Shanti, Om” di hadapan para delegasi dari seluruh dunia. Momen ini, yang langsung viral dan menjadi bahan pembicaraan luas, menempatkan Indonesia dalam sorotan global yang unik.

Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, yang secara demografis mencapai lebih dari 230 juta jiwa atau sekitar 87% dari total penduduk, pilihan untuk menggunakan sebuah mantra yang berakar pada tradisi Dharma (Hindu, Buddha, Jain, dan Sikh) di sebuah forum yang didominasi oleh pidato-pidato sekuler atau yang bernuansa agama Abrahamik, menciptakan sebuah diskursus baru. Konteks inilah yang menjadikan momen tersebut bukan sekadar selingan kultural, melainkan sebuah pernyataan strategis yang memerlukan analisis mendalam untuk memahami dinamika identitas, kekuasaan, dan diplomasi dalam tata kelola global kontemporer.

Latar belakang sosio-kultural Indonesia memberikan kedalaman strategis pada tindakan Presiden Prabowo. Negara kepulauan ini memiliki warisan peradaban yang kaya, di mana pengaruh Hindu-Buddha dari kerajaan-kerajaan kuno seperti Sriwijaya dan Majapahit telah membentuk fondasi kulturalnya selama berabad-abad sebelum kedatangan Islam. Fakta bahwa simbol-simbol warisan ini masih hidup dan terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia modern, terlepas dari mayoritas Muslim, adalah sebuah realitas yang sering kali diabaikan dalam analisis politik internasional.

Bandara Internasional Soekarno-Hatta, misalnya, menampilkan patung Garuda, wahana Dewa Wisnu, yang juga menjadi logo maskapai nasional Garuda Indonesia. Demikian pula, pertunjukan wayang dan adaptasi Ramayana atau Ramalila dalam bentuk sendratari dan seni pertunjukan tetap populer dan menjadi daya tarik budaya utama di Yogyakarta dan Bali. Integrasi yang organik antara agama mayoritas dan akar budaya pra-Islam inilah yang membentuk landasan bagi strategi diplomasi yang ditampilkan di PBB.

*Membongkar Paradigma Monolitik dan Mencari Peluang Diplomasi di Tengah Kompleksitas Identitas*

Permasalahan mendasar yang dihadapi banyak negara pascakolonial, termasuk Indonesia, adalah kecenderungan dunia luar untuk memandang identitas nasional mereka melalui lensa yang monolitik, sering kali disederhanakan menjadi agama mayoritasnya.

Narasi global sering menggambarkan Indonesia semata-mata sebagai “negara Muslim terbesar di dunia,” sebuah label yang, meskipun secara statistik akurat, mengaburkan kompleksitas dan kekayaan warisan budayanya yang majemuk.

Reduksionisme semacam ini menciptakan sebuah paradigma yang membatasi, di mana setiap ekspresi kebijakan luar negeri atau budaya diasumsikan hanya merepresentasikan satu dimensi identitas tersebut. Dalam kerangka inilah, tindakan Presiden Prabowo mengucapkan “Om Shanti” hadir sebagai sebuah counter-narrative yang powerful.

Tindakan tersebut secara implisit mempertanyakan dan membongkar asumsi monolitik tersebut, menunjukkan bahwa identitas Indonesia bersifat multi-lapis dan inklusif. Lebih lanjut, dalam konteks diplomasi kontemporer, di mana soft power menjadi alat yang semakin vital, banyak negara, termasuk Indonesia, masih berjuang untuk menemukan dan memproyeksikan branding nasional yang unik dan otentik.

Tantangannya adalah bagaimana memilih elemen budaya yang dapat diterima secara universal sekaligus merepresentasikan jati diri bangsa tanpa menimbulkan kontroversi domestik atau persepsi yang salah di internasional.

Penggunaan terminologi keagamaan tertentu, meskipun berasal dari tradisi yang berbeda, berisiko disalahtafsirkan sebagai bentuk sinkretisme yang dipaksakan atau bahkan provokasi oleh kelompok-kelompok tertentu di dalam negeri yang memegang pandangan puritan.

Namun, Presiden Prabowo, dengan memilih mantra “Om Shanti”, yang secara harfiah berarti “Damai, damai, damai”, dengan cerdas memilih sebuah simbol yang nilainya universal: perdamaian. Nilai ini selaras dengan konstitusi dasar Piagam PBB dan merupakan pesan inti dari diplomasi Indonesia yang selalu mendorong penyelesaian konflik secara damai.

Dengan demikian, analisis masalah ini mengungkap sebuah peluang strategis untuk memanfaatkan warisan budaya yang inklusif sebagai alat diplomasi, seraya mengatasi tantangan reduksionisme identitas.

*Merekontekstualisasi Warisan Peradaban sebagai Instrument Soft Power Strategis*

Solusi yang ditawarkan melalui momen “Om Shanti” ini adalah pengintegrasian yang disengaja dan strategis dari warisan peradaban Nusantara ke dalam arsitektur diplomasi dan kebijakan luar negeri Indonesia.

Tindakan Presiden Prabowo bukanlah sebuah insiden yang terisolasi, melainkan sebuah cerminan dari solusi yang sudah berjalan, yaitu positioning Indonesia sebagai sebuah civilizational state.

Konsep civilizational state, yang biasanya dikaitkan dengan negara seperti Tiongkok atau India, merujuk pada sebuah negara-bangsa yang mendasarkan legitimasi dan identitasnya pada sebuah peradaban kuno yang khas, bukan hanya pada ideologi modern atau entitas politik. Indonesia, dengan warisan Sriwijaya dan Majapahit yang membentang di seluruh Asia Tenggara, memiliki klaim yang kuat atas status ini.

Solusinya adalah dengan secara aktif merekontekstualisasi warisan ini untuk abad ke-21, menghidupkannya bukan sebagai relik masa lalu, tetapi sebagai aset hidup yang relevan dengan percakapan global tentang perdamaian, toleransi, dan keberlanjutan.

Pemilihan “Om Shanti” sendiri adalah sebuah masterstroke diplomasi budaya. Mantra ini, yang berasal dari tradisi Veda, telah melampaui batas-batas agama tertentu dan diadopsi secara global dalam praktik mindfulness dan yoga, sehingga memiliki daya terima yang luas. Dalam konteks Indonesia, frasa ini juga merupakan bagian dari kurikulum di banyak sekolah, termasuk di jaringan Sekolah Nasional, di mana ia diajarkan sebagai bagian dari pendidikan karakter dan penghormatan terhadap keragaman, sehingga penggunaannya di PBB memiliki basis legitimasi domestik.

Solusi strategis ini memungkinkan Indonesia untuk memproyeksikan sebuah identitas yang unik: sebuah negara yang secara demografis mayoritas Muslim tetapi secara kultural berakar pada peradaban Dharma yang inklusif. Identitas hybrid ini menjadi modal soft power yang sangat berharga, memungkinkan Indonesia untuk terlibat dengan berbagai blok peradaban dunia Islam, Barat, dan negara-negara Berkembang, dengan pendekatan yang khas dan sulit untuk ditandingi oleh negara lain. Ini adalah solusi yang memanfaatkan kedalaman sejarah dan kompleksitas kultural sebagai kekuatan, bukan sebagai beban.

*Agenda Kebijakan untuk Memperkuat Posisi Indonesia sebagai Bridge-Builder Peradaban*

Untuk mengkonsolidasikan dan membangun momentum dari momen diplomatik yang sukses ini, diperlukan serangkaian aksi kebijakan yang konkret dan berkelanjutan.

Pertama, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dapat secara institusional mengadopsi pendekatan ini dengan menyelenggarakan forum-forum dialog antarkultur yang secara khusus menampilkan warisan Nusantara pra-Islam dan Islam yang berkemajuan sebagai dua sisi dari satu koin yang sama. Misalnya, mendirikan “Pusat Studi Peradaban Nusantara” di perwakilan diplomatik utama di ibu kota negara-negara besar, yang menyelenggarakan pameran, lokakarya, dan pertunjukan seni yang menampilkan seni ukir Candi Borobudur, epik Ramayana, dan capaian artistik Kesultanan Islam secara berdampingan. Aksi ini akan memberikan substansi yang mendalam pada pesan simbolis “Om Shanti”.

Kedua, dalam percakapan bilateral dan multilateral, diplomasi Indonesia dapat secara lebih proaktif menawarkan diri sebagai bridge-builder atau penjembatan dalam dialog antaragama dan antarkepercayaan.

Pengalaman Indonesia dalam mengelola keragaman, di mana nama-nama seperti Sukarno, Suharto, Megawati Soekarnoputri, Joko Widodo, dan Prabowo sendiri mencerminkan tradisi penamaan lokal yang kaya, bukan semata-mata Arab, dapat menjadi studi kasus yang berharga.

Pemerintah dapat mendorong penelitian dan publikasi kebijakan (policy brief) yang mendokumentasikan model koeksistensi ini, yang kemudian dapat didiseminasikan melalui jaringan diplomatik. Ketiga, sektor pariwisata dan ekonomi kreatif harus disejajarkan dengan strategi ini. Promosi “Wisata Spiritual dan Budaya Nusantara” yang menyatukan kunjungan ke masjid agung, candi Buddha-Hindu, dan situs warisan budaya lainnya dalam satu paket perjalanan dapat menjadi implementasi praktis dari branding nasional ini. Aksi-aksi terpadu ini akan mentransformasikan sebuah momen simbolik yang powerful menjadi sebuah kerangka kerja diplomasi yang komprehensif dan berjangka panjang, memperkuat posisi Indonesia bukan hanya sebagai mitra politik, tetapi juga sebagai sumber kebijaksanaan kultural dalam menghadapi perpecahan global.

*Menuju Diplomasi yang Berakar pada Peradaban*

Momen “Om Shanti” yang diucapkan Presiden Prabowo Subianto di podium SMU PBB adalah lebih dari sekadar anekdot politik yang menarik; ia adalah sebuah pernyataan strategis yang mencerminkan jati diri Indonesia yang paling otentik dan sebuah visi untuk diplomasi abad ke-21.

Analisis ini menunjukkan bahwa tindakan tersebut berhasil membongkar narasi monolitik tentang identitas negara, menawarkan solusi inovatif melalui pemanfaatan warisan peradaban sebagai instrumen soft power, dan membuka jalan bagi serangkaian aksi kebijakan yang dapat memperkuat posisi Indonesia di dunia.

Dengan memposisikan diri sebagai sebuah civilizational state yang percaya diri, Indonesia tidak hanya menghormati akar sejarahnya yang dalam tetapi juga menawarkan sebuah model alternatif keterlibatan global, sebuah model yang ditegaskan atas inklusivitas, dialog, dan pencarian perdamaian yang abadi.

Pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa dalam dunia yang semakin terpolarisasi, kekuatan sering kali terletak pada kemampuan untuk merangkul kompleksitas identitas sendiri dan memproyeksikannya dengan cerdas.

Bagi Indonesia, masa depan pengaruhnya di panggung dunia mungkin sangat bergantung pada kemampuannya untuk terus menggali khazanah budayanya yang kaya dan menerjemahkannya ke dalam bahasa diplomasi yang dapat dimengerti dan dihargai oleh semua bangsa. Momen “Om Shanti” telah meletakkan fondasi yang kuat untuk perjalanan transformatif ini. (Beni/PR/prs)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *