Oleh : Laksamana Muda Dr. Surya Wiranto, SH MH
Pidato Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Umum PBB, 23 September 2025, menandai pergeseran penting dalam diplomasi Indonesia: menggabungkan idealisme dukungan terhadap kemerdekaan Palestina dengan realisme politik yang mengakui kebutuhan jaminan keamanan bagi Israel.
Di tengah gelombang demonstrasi global, pengakuan negara-negara Barat terhadap Palestina, dan delegitimasi moral PBB, Indonesia muncul sebagai aktor moderat dengan potensi membangun koalisi rekonsiliatif antara Selatan dan Utara global. Naskah ini menganalisis makna strategis pidato tersebut, dinamika geopolitik yang menyertainya, serta konsekuensi bagi posisi Indonesia di dunia pasca-konflik Gaza.
Diskursus ini menempatkan Prabowo sebagai figur yang mencoba menyeimbangkan humanisme universal dengan kepentingan nasional yang semakin terintegrasi dalam arsitektur keamanan global.
Kata Kunci: Diplomasi Indonesia, PBB, Palestina, Prabowo Subianto, Realisme Humanis, Politik Global
1. Konteks: PBB, Palestina, dan Diplomasi Prabowo Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September 2025 menjadi salah satu forum paling sarat makna politik global dalam dua dekade terakhir. Di tengah krisis Gaza yang belum berakhir, ribuan demonstran memadati kawasan Manhattan, New York, sambil menyerukan penghentian genosida terhadap rakyat Palestina.
Seruan seperti “Free Palestine” dan “Arrest Netanyahu” bergema dari jalanan menuju markas besar PBB, menandakan jurang yang semakin lebar antara diplomasi formal dan suara moral masyarakat dunia.
Dalam suasana ini, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato perdananya di mimbar tertinggi dunia tersebut. Pidato yang disiarkan ke lebih dari 190 negara itu segera menarik perhatian karena menawarkan formula dua negara, two-state solution, namun dengan tambahan penting : jaminan keamanan bagi Israel.
Ucapannya, “We must have an independent Palestine, but we must also guarantee the safety and security of Israel,” menandai perubahan paradigma dari retorika idealistik menjadi diplomasi realistik. Indonesia, yang sejak era Soekarno dikenal sebagai pengusung prinsip antikolonialisme, kini tampil dengan wajah pragmatis yang berupaya menjembatani kepentingan dua bangsa keturunan Ibrahim.
Bagi banyak pengamat, peristiwa ini bukan sekadar pidato, melainkan refleksi pergeseran strategi besar Indonesia di kancah global. Dalam satu dekade terakhir, perubahan tatanan geopolitik, mulai dari konflik Rusia-Ukraina, kompetisi AS-Tiongkok, hingga stagnasi lembaga multilateral seperti PBB, telah menggeser dinamika kekuasaan global.
Dalam konteks itulah, posisi Indonesia menjadi unik: bukan kekuatan militer besar, tetapi memiliki legitimasi moral sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Pidato Prabowo menjadi artikulasi dari kesadaran baru: bahwa solidaritas internasional kini menuntut efektivitas diplomasi, bukan sekadar idealisme.
2. Analisis Masalah: Krisis PBB dan Ketegangan Global. Sidang Umum PBB tahun 2025 diwarnai paradoks. Di satu sisi, lebih dari 150 negara telah mengakui Palestina sebagai negara berdaulat, termasuk Inggris, Prancis, Kanada, dan Australia. Perdana Menteri Anthony Albanese menyebut pengakuan itu sebagai “pengembalian janji tahun 1948” ketika Resolusi 181 PBB menetapkan pembentukan dua negara, Israel dan Palestina. Namun di sisi lain, Dewan Keamanan PBB tetap buntu karena veto Amerika Serikat. PBB tampak seperti institusi yang kehilangan daya moral dan kapasitas eksekusi. Sekretaris Jenderal António Guterres bahkan memperingatkan, “Without reform, the UN will lose its meaning in the eyes of the world.”
Krisis legitimasi PBB tampak jelas dari fenomena dual stage: panggung formal yang diisi para pemimpin negara, dan panggung jalanan yang diisi rakyat biasa. Ketika Netanyahu berpidato menolak pengakuan terhadap Palestina, ribuan warga Amerika, Arab, dan Yahudi progresif justru menyerukan penangkapannya. Ini menggambarkan kegagalan PBB menjaga jarak dari kekuatan dominan. Donald Trump, yang hadir kembali ke politik global dengan retorika “I had to do these things instead of the United Nations doing them,” mempertegas citra PBB sebagai institusi yang impotens.
Indonesia, dalam konteks ini, menghadapi dilema moral dan politik. Dukungan tradisional terhadap Palestina berakar dari sejarah panjang solidaritas dunia ketiga. Namun di era pasca-pandemi, tekanan ekonomi global dan meningkatnya kompleksitas diplomasi menuntut pendekatan yang lebih adaptif. Dengan demikian, pidato Prabowo menjadi simbol repositioning strategis: mempertahankan moralitas kemerdekaan bangsa tertindas, tetapi sekaligus membangun kredibilitas sebagai mediator realistis di antara kekuatan global yang saling mencurigai.
Pidato tersebut juga merefleksikan transisi generasi kepemimpinan global. Ketika tokoh-tokoh seperti Joe Biden dan Emmanuel Macron masih terjebak pada politik status quo, Prabowo mencoba menghadirkan bahasa baru, sebuah diplomasi humanistik yang berakar pada nilai Islam moderat dan prinsip perdamaian aktif.
3. Solusi: Diplomasi Realisme Humanis Indonesia. Pidato Prabowo di PBB mengandung dua lapis pesan strategis. Pertama, realisme humanis, gagasan bahwa moralitas kemanusiaan tidak harus bertentangan dengan rasionalitas geopolitik. Kedua, diplomasi multijalur, strategi yang menempatkan Indonesia sebagai jembatan komunikasi antarblok.
Realisme humanis ini terlihat dari kalimat: “Two descendants of Abraham must live in peace and harmony.” Prabowo tidak sekadar mengulang narasi solidaritas Palestina, tetapi mencoba membangun imagined reconciliation antara bangsa Arab dan Yahudi. Pendekatan ini relevan dengan doktrin politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, sebagaimana diatur dalam Pembukaan UUD 1945, yang menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Namun dalam konteks dunia multipolar, kebebasan itu perlu diterjemahkan sebagai otonomi strategis, yakni kemampuan untuk mengambil posisi di tengah konflik global tanpa kehilangan kredibilitas moral.
Diplomasi multijalur Indonesia terlihat melalui koordinasi intensif antara Kementerian Luar Negeri, perwakilan tetap Indonesia di New York, dan jaringan ulama diaspora seperti Imam Shamsi Ali. Keterlibatan masyarakat sipil dan diaspora menegaskan bahwa diplomasi modern bukan monopoli pemerintah semata, melainkan melibatkan spektrum aktor non-negara yang memperkuat pesan kemanusiaan Indonesia.
Prabowo juga menegaskan komitmen untuk berperan dalam peacebuilding. Dalam konteks Gaza, Indonesia mendorong pembentukan mekanisme pengawasan gencatan senjata yang berbasis pada inisiatif regional, melibatkan ASEAN dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Strategi ini menjadi simbol kebangkitan Selatan global (Global South), yang tidak lagi hanya menjadi penonton dalam isu-isu dunia, tetapi mulai menuntut peran substantif dalam arsitektur perdamaian internasional.
4. Aksi: Indonesia di Antara Trump, Netanyahu, dan Dunia Baru. Pertemuan Prabowo dengan Donald Trump dan Benjamin Netanyahu di sela Sidang Umum PBB memunculkan dinamika baru. Trump secara terbuka memuji Prabowo sebagai “an amazing leader respected by everybody.” Di sisi lain, Netanyahu dalam pidatonya menyoroti sikap “balanced yet courageous” Indonesia. Hubungan ini mencerminkan peluang sekaligus risiko bagi diplomasi Jakarta.
Kedekatan dengan Trump membuka akses politik terhadap kebijakan Washington yang berpengaruh dalam setiap resolusi Dewan Keamanan. Namun, hal ini juga dapat menimbulkan resistensi domestik dari kelompok masyarakat yang menilai langkah tersebut terlalu akomodatif terhadap Israel. Dalam konteks inilah, diplomasi Prabowo diuji antara menjaga marwah solidaritas Palestina dan memanfaatkan momentum geopolitik untuk memperkuat posisi Indonesia di kancah global.
Selain faktor Amerika, pengakuan formal Australia terhadap negara Palestina pada September 2025 juga memperkuat landasan moral bagi langkah Indonesia. Dalam wawancaranya, Perdana Menteri Albanese menegaskan, “It’s time the world ends this 80-year conflict.” Posisi Australia dan Indonesia kini sejalan dalam menegaskan bahwa keamanan Israel dan kemerdekaan Palestina bukan dua kutub yang saling meniadakan, melainkan dua syarat yang harus dipenuhi secara simultan.
Dari sisi operasional, Indonesia berencana meningkatkan keterlibatan diplomatiknya dalam program rekonstruksi Gaza melalui bantuan kemanusiaan dan pelatihan sipil-militer untuk perlindungan warga sipil. Diplomasi aksi ini menjadi bentuk konkret dari diplomatic realism yang menyeimbangkan idealisme dan pragmatisme.
5. Tantangan: Krisis Kepercayaan dan Reformasi PBB. Meningkatnya gelombang ketidakpuasan terhadap PBB merupakan gejala krisis representasi. Negara-negara Selatan seperti India, Brasil, dan Afrika Selatan menuntut reformasi Dewan Keamanan agar lebih demokratis, sementara negara-negara Barat berupaya mempertahankan hak veto yang menguntungkan mereka. Dalam konteks ini, Indonesia bersama Malaysia dan Turki menjadi bagian dari kelompok yang mengusung “Reformasi Struktural Multilateral.”
Pidato Prabowo memperkuat posisi Indonesia dalam wacana tersebut. Dengan menyatakan bahwa “real peace can only come when security is guaranteed for all,” ia sesungguhnya menyerukan reformasi paradigma dalam sistem multilateral. PBB tidak bisa hanya menjadi forum retorika, melainkan harus menjadi instrumen kolektif yang efektif menegakkan keadilan global.
Namun, hambatan tetap besar. Di lapangan, perang informasi, polarisasi politik, dan kepentingan ekonomi masih menjadi batu sandungan bagi misi kemanusiaan. Dunia digital mempercepat penyebaran opini, tetapi juga memperkuat bias ideologis. Tantangan ini menuntut strategi komunikasi diplomatik baru yang mampu mengelola persepsi publik global. Bagi Indonesia, keberhasilan diplomasi tidak hanya diukur dari hasil resolusi PBB, melainkan dari kemampuan mempertahankan citra sebagai moral power di tengah tatanan dunia yang penuh fragmentasi.
6. Penutup: Indonesia di Persimpangan Sejarah. Pidato Prabowo Subianto di PBB bukan sekadar peristiwa simbolik, melainkan penanda arah baru politik luar negeri Indonesia di era ketidakpastian global. Dalam suasana dunia yang semakin terpecah antara kekuatan besar, Indonesia tampil sebagai juru damai yang realistis. Ia tidak lagi berdiri semata atas dasar solidaritas ideologis, tetapi atas visi perdamaian yang inklusif dan berbasis pada keseimbangan kepentingan.
Krisis legitimasi PBB, meningkatnya radikalisme, serta keruntuhan kepercayaan pada institusi multilateral menjadi ujian bagi dunia. Namun, di tengah kekacauan ini, Indonesia justru menemukan momentum untuk memperluas pengaruh moralnya. Dengan basis nilai-nilai Pancasila dan tradisi politik bebas aktif, diplomasi Indonesia dapat berperan sebagai jembatan antara idealisme dan realitas, antara utopia dan strategi.
Pada akhirnya, di forum tempat para pemimpin dunia sering gagal berbicara dengan hati, Indonesia justru mengingatkan dunia bahwa kemanusiaan adalah bahasa yang paling universal. Pidato Prabowo di PBB tahun 2025 akan tercatat sebagai bab penting dalam perjalanan diplomasi bangsa: ketika idealisme, realisme, dan moralitas berpadu menjadi satu arah menuju perdamaian dunia yang lebih adil.
Daftar Pustaka
Guterres, A. (2025). UN Reform and the Future of Multilateralism. New York: United Nations Press.
Albanese, A. (2025). Australia Recognizes Palestine: Statements from Canberra. Canberra: Department of Foreign Affairs.
Subianto, P. (2025). Address to the United Nations General Assembly, 26 September 2025. Jakarta: Kemlu RI Archive.
Trump, D. (2025). Remarks on Middle East Peace Plan. Washington D.C.: The White House Record.
Global Firepower. (2025). World Military Strength Ranking 2025.
Shamsi Ali, I. (2025). Faith, Peace, and Diplomacy in the UN Mosque. New York: ICC Publication.
SIPRI. (2025). Yearbook on World Armaments and Disarmament. Stockholm: SIPRI Press. (Beni/PR/rls)