Jakarta, (PR)
Maraknya aksi demonstrasi mahasiswa-pelajar dan elemen masyarakat di seluruh wilayah Indonesia dan gerakan BEM se-Indonesia yang sedemikian masif di sejumlah daerah bisa berujung pada jatuhnya Presiden Jokowi dari kekuasaan.
Menurut pengamat militer Wibisono SH MH mengatakan bahwa gerakan mahasiswa di sejumlah daerah mengemuka sejak polemik seleksi Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kemudian disusul persetujuan hingga pengesahan UU KPK Baru.
“Sementara Pemerintah dan parlemen abai terhadap benih gerakan yang terjadi di KPK. Dan inilah hasil mobilisasi mahasiswa yang sering dianggap tidak ada selama ini,” kata Wibi, Selasa (1/10/2019).
Puncak gerakan mahasiswa yang terjadi pada Selasa pekan lalu tanggal (24/9/2019) bisa melahirkan dua agenda. Pertama, mahasiswa fokus pada tuntutan pembatalan UU KPK dan penghentian pembahasan RKUHP, lantaran keduanya dianggap tidak sejalan dengan cita-cita reformasi.
Kedua, ada potensi gerakan ini melebar ke isu mosi tidak percaya yang berujung tuntutan Presiden turun tahta. Potensi kedua ini harus diwaspadai Pemerintah, karena bisa saja ada kelompok lain yang menyusupkan agenda terselubung. Dalam menghadapi gerakan mahasiswa, Pemerintah harus hati-hati.
“Pemerintah harus bijak, harus mengambil sikap berani mengakui kesalahan dengan gulirkan Perppu pembatalan UU KPK, karena dengan bersikeras, gerakan punya potensi membesar, dan tentu isu bisa bergeser, dari soal perundangan, beralih ke tuntutan Presiden mundur,” kata Wibi.
Korban dari mahasiswa dan pelajar dalam aksi
Selanjutnya demo mahasiswa dilakukan untuk memberi tekanan psikologis ke Pemerintah dan DPR agar segera membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terutama untuk UU KPK.
Demo yang terjadi beberapa hari terakhir, mengingatkan kita pada demo yang tengah terjadi di Hongkong. Setidaknya ada dua hal yang membuat demonstrasi menjadi mirip, yakni berawal dari RUU dan diinisiasi oleh para pemuda milenial.
Di Hong Kong, demonstrasi yang terjadi dimulai dari adanya RUU Ekstradisi. RUU ini memungkinkan rakyat Hongkong yang berbuat kriminal untuk diadili di China. Ini menyebabkan kemarahan pro demokrasi, karena dianggap akan menjadi cara China untuk mengekang kebebasan mereka berekspresi.
Demo Hongkong juga dilakukan oleh anak muda. Setidaknya ada tiga milenial yang disebut-sebut menjadi pemimpin massa pro demokrasi di Hongkong yakni Nathan Law, Joshua Wong dan Agnes Chow. Ketiganya masih berumur 22 tahun.
Meski Pemerintah Hongkong sudah membatalkan RUU Ekstradisi, namun sayangnya demonstrasi terus terjadi hingga kini. Sebelumnya demo dimulai sejak Juni lalu.
Tiap akhir pekan demonstrasi berakhir rusuh. Kekerasan terjadi, para pendemo dan polisi saling lembar bom molotov, gas air mata dan water canon.
Sebuah survei bisnis menunjukkan, aktivitas sektor swasta Hongkong pada Agustus anjlok akibat demonstrasi yang terus terjadi. Bahkan, penurunan terjadi sangat signifikan di Agustus ini, melemah selama 10 tahun terakhir.
Sebagaimana dipublikasikan IHS Market, indeks manager pembelian (Purchasing Manager’s Index/ PMI) Hongkong merosot 40,8 pada Agustus, dari sebelumnya 43,8 pada Juli. Angka itu menandakan penurunan paling tajam di sektor swasta sejak Februari 2009.
“Data PMI terbaru mengungkapkan, bahwa ekonomi Hongkong pada kuartal ketiga bermain-main dengan resesi,” kata Bernard Aw, ekonom utama di IHS Market, seperti dilansir dari CNBC Internasional.
“Karena aktivitas bisnis semakin diperburuk oleh kelumpuhan karena aksi demo. Ini kondisinya sama dengan di Indonesia,” ulas Wibi.
Hongkong berada di ambang resesi pertamanya selama satu dekade. Faktornya karena ekonomi menyusut sebesar 0,4% pada April-Juni. Protes yang semakin meningkat mengurangi wisatawan dan memukul penjualan ritel di salah satu tujuan belanja paling populer di dunia.
Lalu, jika demonstrasi terus terjadi, apakah Indonesia akan seperti Hongkong ?
Menurut ekonom INDEF Bima Yudhistira, kekhawatiran ke arah sana pasti ada. Apalagi, polanya hampir sama dengan Hongkong.
“Awalnya ada penolakan RUU tapi karena tidak cepat direspons Pemerintah jadi merembet ke isu lainnya,” jelasnya.
Ia mengatakan jika hal ini terjadi, dampaknya akan buruk bagi investor ke depan. Investor bisa menghindari pasar saham karena volatilitas yang tinggi dan ketidakpastian politik.
“Apalagi jika ada isu penggagalan pelantikan Jokowi atau pasca pelantikan demonya masih terus bergulir ya bisa jadi delegitimasi Pemerintah,” katanya. Dunia usaha bisa terganggu, salah satunya logistik. Bisa juga menganggu ekspor impor.
Dampak lainnya adalah pariwisata. Mungkin akan ada travel warning dari banyak negara karena demonstrasi yang terus terjadi.
“Jadi kalau diakumulasi 1 bulan terakhir ini Rp 7,5 triliun dana asing sudah keluar per penutupan sore dalam bentuk net sales atau penjualan bersih asing,” pungkasnya. (beni/pr)