Oleh : Lukita Dinarsyah Tuwo
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saudaraku, memilih pemimpin amanah ibarat mencari “jarum dalam jerami”. Sulit. Namun ia tidak mustahil. Masih banyak pribadi berkualitas yang amanah.
Untuk menjadi pemimpin, pasti memiliki kepentingan kekuasaan. Dalam agama Islam kekuasaan bukanlah hal yang dilarang. Kekuasaan dan politik dianjurkan selama tujuannya untuk memakmurkan dan melindungi masyarakat sesuai visi-misi kekhalifahan. Karena itu, kekuasaan harus didapatkan dengan tetap berpegang pada etika Islam.
Sebagai agama yang sempurna, Islam telah memberikan panduan etika dalam kehidupan manusia, termasuk etika dalam politik. Namun yang terjadi, tidak sedikit pemimpin yang menghalalkan segala cara dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
Etika politik adalah sesuatu yang sangat penting dalam Islam. Politik bagian dari ibadah. Politik harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Politik juga berkenaan dengan prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat.
Karena itu prinsip-prinsip hubungan antarmanusia seperti saling menghargai hak orang lain dan tidak memaksakan kehendak, kepada rakyat ataupun aparat penyelenggara pemerintahan, harus berlaku dalam dunia politik. Etika politik merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan tanggung jawab atas realitas kehidupan.
Salah satu etika paling mendasar di dalam Al-Qur’an ialah menegakkan rasa adil. Al-Qur’an mengisyaratkan bentuk dan sistem pemerintahan seperti apapun yang dijalankan yang penting ada-lah keadilan dan kebenaran harus betul-betul ditegakkan di dalamnya.
Allah SWT berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Maidah/5-8).
Saudaraku, di tengah maraknya hajatan pemilihan pemimpin, biaya demokrasi di Indonesia menjadi sangat mahal. Terkait etika politik, karena maraknya politik uang atau “serangan fajar” untuk memenangkan suara rakyat, praktik korupsi seakan dimaklumi sebagai konsekuensi yang tidak terhindari. Para wakil rakyat, para pemimpin dari pusat hingga daerah, “konon harus mengembalikan modal” dengan cara yang tidak baik. Alhasil, banyak pemimpin kita yang terjerat tali hukum lembaga anti-ruswah.
Ini memang dilema dan tantangan kita.
Meskipun kita harus yakin semua ini bisa dibenahi. Kita harus yakin bahwa cara-cara kotor dalam berpolitik, bisa dihindari. Itulah sebabnya sebagai negara demokrasi kita selalu mencanangkan pemilihan pemimpin yang bersifat jurdil (jujur dan adil), serta luber (langsung, umum, bebas dan rahasia).
Agama kita sangat mengecam praktik korupsi. Allah SWT dalam QS. al-Nisa’: 29 berfirman, “Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku secara suka sama suka di antara kamu”.
Begitu keji korupsi ini, sehingga Baginda Rasulullah SAW bersabda, “Laknat Allah atas pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya, yakni orang yang menghubungkan keduanya” (HR. Ahmad). Rasul lalu menambahkan, “Karena sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya”.
Saudaraku, kecaman agama terhadap korupsi ini sangat tepat, karena ia tidak hanya mencerminkan tindakan yang tidak amanah. Tetapi juga menciderai rasa keadilan di masyarakat.
Tujuan menjadi pemimpin tentulah melayani rakyat. “Memimpin adalah menderita”, demikian ucap pendiri bangsa, Haji Agus Salim. Itulah mengapa Khalifah Umar bin Khattab selalu memastikan rakyatnya sudah makan, sebelum beliau makan. “Kalau ada kelaparan, biar aku yang lapar duluan. Kalau ada makanan, biar aku yang terakhir kenyang,” begitu keteguhan beliau.
Praktik korupsi yang terjadi di negeri ini, telah menciptakan ketidakpercayaan publik. Hal ini tentu menggerogoti kemurnian demokrasi kita, karena hajatan pemilu, baik pusat maupun daerah, sering hanya diisi oleh “tradisi” politik uang. Rakyat memilih pemimpin karena politik uang yang tidak seberapa. Pemimpin menarik suara rakyat, lebih melalui uang atau juga tekanan kepada rakyat dengan ancaman bantuan atau kerjasama dihentikan, atau di”non-job”kan dari posisinya saat ini. Bukan dilihat dari kualitas program dan ketulusan untuk mengabdi yang ditawarkan oleh calon pemimpin.
Saudaraku, menuju Pilkada serentak tahun 2020, mari kita canangkan bersama dan mengedukasi masyarakat untuk mencari pemimpin yang amanah. Mari menjaga agar pemimpin kita tetap amanah. Tugas kita sebagai rakyat ialah memilih dengan cerdas, agar praktik pemerintahan kita beretika dan tidak koruptif, karena ini akan menentukan kinerja pembangunan dan sejahtera masyarakat, minimal untuk 4 tahun ke depan (2020-2024). Terimakasih, Wassalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Penulis adalah mantan Kepala BP Batam dan Calon Walikota Batam