fbpx
Example 728x250
HedalineJakarta

Menteri PUPR Larang BUMN Garap Proyek Di Bawah Rp 100 Miliar

520
×

Menteri PUPR Larang BUMN Garap Proyek Di Bawah Rp 100 Miliar

Sebarkan artikel ini

PUTERARIAU.com | JAKARTA –  Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono melarang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menggarap proyek di bawah Rp 100 miliar. Sebaliknya keterlibatan swasta dan penggunaan material konstruksi lokal lebih diutamakan untuk proyek dengan besaran tersebut.

“BUMN dilarang bermain di bawah Rp 100 miliar. Walaupun Perpresnya, besaran itu bisa dari Rp 50 miliar ke atas, tapi untuk BUMN secara imbauan tidak boleh di bawah Rp 100 miliar. Jadi sekarang sudah banyak dilakukan BUMN. Tidak pernah mereka ikut tender di bawah Rp 100 miliar,” ucap Basuki dilansir dari Investor Daily pekan ini.

Sedangkan untuk tingkat komponen dalam negeri (TKDN), ia mencontohkan proyek Tol Yogyakarta-Solo murni dikerjakan konsorsium swasta, yakni Gama Group, PT Daya Mulia Turangga, dan PT Jasa Marga. Di proyek ini, Jasa Marga porsinya kecil dan yang menjadi lead merupakan swasta. Kemudian untuk paket-paket pekerjaan yang lain, sebagai pembina konstruksi PUPR juga membagi mulai dari paket pekerjaan yang kecil sampai yang besar.

Termasuk menyusun betul pekerjaan yang ada di daftar isian pelaksana anggaran (DIPA), mana yang untuk daerah, mana yang untuk swasta, dan mana yang dilarang untuk BUMN. Begitu pula dengan penggunaan material konstruksi lokal yang menurut penuturannya, PUPR telah banyak memanfaatkan material konstruksi seperti karet, plastik, dan aspal buton (Asbuton) untuk jalan.

Di sektor perumahan, PUPR juga menerapkan program Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA), kemudian yang saat ini sedang dibangun adalah big land sprinkle untuk irigasi. Ia menyebut hal itu telah menggerakkan 17 UKM di Bandung. Bahkan Menteri Basuki datang langsung ke workshop-nya.

“Kami pesan pertama 250 big land. Mereka bisa. Kami beli satu, bongkar, contoh persis. Bisa dan bagus. Kemarin yang dicoba Presiden di Humbang Hasundutan juga merupakan produksi Bandung,” ungkap Basuki.

Ke depan, lanjut dia, pihaknya akan memesan 1.000 unit untuk dibawa ke Nusa Tenggara Timur (NTT), tepatnya di Sumba dan Belu. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah kering yang jaringan irigasinya akan dicoba dengan big land hasil produksi lokal.

“Harga produksi lokal juga sangat murah dibanding impor. Impor mungkin Rp 60 juta hingga Rp 75 juta per unit, sedangkan di UKM harganya sekitar Rp 15 juta. Jadi, perbedaan harganya besar sekali padahal operasinya sama,” papar dia.

Terkait cara mengontrolnya, Basuki menjelaskan bahwa paket-paket pekerjaan tersebut dijadikan sebagai objek pemeriksaan Inspektorat Jenderal (Irjen) Kementerin PUPR. Untuk pembelian ekskavator, misalnya, PUPR harus membeli dari PT Pindad.

Jika produksi PT Pindad belum sanggup memenuhi kebutuhan, karena produksi mereka memang belum begitu banyak baru sekitar 50-60 unit, PUPR terpaksa membeli dari tempat lain. Kalau pun UKM belum bisa memproduksi, minimal PUPR membeli dari vendor yang pabriknya di Indonesia.

“Kan banyak merk luar tapi yang pabriknya di sini. Kami utamakan yang pabriknya di Pasuruan dan Karawang. Jadi, semua kami fokuskan dan masukkan ke spesifikasi kontrak. Dalam dokumen kontrak, kami masukkan yang memanfaatkan produksi dalam negeri,” papar dia.[s**]

sumber : investor.id

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *