Oleh : Laksamana Muda Dr. Surya Wiranto, SH MH
Perjanjian Pertahanan Australia-Papua Nugini (PNG) yang ditandatangani pada 13 Oktober 2025, yang dijuluki Perjanjian Pukpuk menjadi stimulus bagi redefinisi postur strategis Indonesia di kawasan Pasifik Barat. Naskah akademik ini menganalisis implikasi geopolitik perjanjian aliansi baru pertama Australia dalam tujuh dekade tersebut terhadap kedaulatan dan stabilitas keamanan Indonesia, khususnya dalam konteks dinamika konflik bersenjata di Papua Barat.
Melalui pendekatan kualitatif-deskriptif dengan analisis isi pernyataan resmi dan tinjauan literatur strategis, penelitian ini mengidentifikasi bahwa meski Indonesia secara normatif menghormati kerja sama pertahanan bilateral, terdapat kekhawatiran mendalam terhadap potensi interpretasi “ancaman bersama” yang dapat melibatkan Australia di perbatasan Indonesia-PNG. Temuan penelitian merekomendasikan penguatan diplomasi preventif, peningkatan kapasitas keamanan perbatasan berbasis komunitas, dan konsolidasi prinsip bebas-aktif sebagai pilar respons strategis Indonesia. Kata kunci: Perjanjian Pukpuk, Kedaulatan Indonesia, Geopolitik Perbatasan, Diplomasi Preventif, Kebijakan Bebas-Aktif.
Konteks Geopolitik: Munculnya Arsitektur Keamanan Baru di Pasifik Barat. Penandatanganan Perjanjian Pukpuk di Canberra pada tanggal 13 Oktober 2025 menandai sebuah perkembangan geopolitik signifikan yang berpotensi menggeser keseimbangan keamanan di kawasan Pasifik Barat. Perjanjian yang digambarkan sebagai aliansi pertahanan baru pertama Australia sejak lebih dari 70 tahun terakhir ini secara formal mengikat Australia dan Papua Nugini dalam sebuah komitmen untuk bersama-sama menghadapi segala bentuk “bahaya bersama” sesuai dengan kerangka konstitusional masing-masing negara.
Bagi Indonesia, yang berbagi perbatasan darat sepanjang lebih dari 760 kilometer dengan PNG di Pulau Papua, kemunculan pakta pertahanan ini tidak dapat dipandang sebagai sebuah peristiwa bilateral yang terisolasi. Sebaliknya, perjanjian ini harus diletakkan dalam konteks historis yang lebih luas, dimana kawasan Pasifik telah menjadi ajang persaingan pengaruh kekuatan global dan regional, serta konteks domestik Indonesia yang diwarnai oleh eskalasi konflik bersenjata antara aparat keamanan Indonesia dan kelompok-kelompok separatis bersenjata di Papua Barat.
Pulau New Guinea, yang merupakan lokus dari perjanjian ini, tidak hanya merupakan pulau terbesar kedua di dunia dengan hutan tropis terbesar ketiga, tetapi juga merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam strategis, seperti yang tercermin dari operasi tambang tembaga dan emas raksasa Freeport Indonesia di Tembagapura, Kabupaten Mimika, dan tambang Ok Tedi Mining di wilayah PNG dekat Pegunungan Bintang. Kondisi geostrategis ini menjadikan stabilitas kawasan sebagai sebuah imperatif bagi Indonesia, sekaligus menjadi sumber kerentanan yang memerlukan pengelolaan yang hati-hati.
Analisis Masalah: Mengurai Lapisan Kekhawatiran Strategis Indonesia Respons resmi Pemerintah Indonesia, yang disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Vahd Nabyl, meski tampak normatif dan menekankan penghormatan terhadap hak kedaulatan setiap negara, menyimpan lapisan kekhawatiran strategis yang mendalam. Pernyataan bahwa Indonesia “mengharapkan Australia dan PNG tetap menegakkan kedaulatan dan integritas wilayah kami” merupakan sebuah pesan diplomatik yang mengandung makna preventif, yang ditujukan untuk mengingatkan kedua negara tetangga agar tidak melampaui batas-batas yang dapat diinterpretasikan sebagai intervensi terhadap urusan dalam negeri Indonesia.
Inti persoalan terletak pada klausul “bahaya bersama” dalam Perjanjian Pukpuk, yang meskipun belum didefinisikan secara operasional, membuka ruang interpretasi yang luas. Dalam skenario terburuk, aktivitas kelompok bersenjata Papua Barat yang beroperasi di wilayah perbatasan dapat dikategorikan oleh PNG sebagai ancaman terhadap stabilitas internalnya, yang kemudian melalui mekanisme perjanjian, dapat menarik Australia ke dalam konflik tersebut.
Kekhawatiran ini diperparah oleh realitas humaniter di perbatasan, dimana sekitar 20.000 pengungsi dari Papua Barat dilaporkan mencari perlindungan di wilayah PNG, menciptakan sebuah dinamika sosial-politik yang kompleks yang rentan terhadap eksploitasi. Selain itu, seperti diungkapkan oleh Perdana Menteri PNG James Marape, pemerintahnya tidak melakukan konsultasi sebelumnya dengan Indonesia mengenai isi perjanjian, sebuah langkah yang dapat dipandang sebagai kurangnya transparansi dan berpotensi memicu ketidakpercayaan di antara pihak-pihak yang berkepentingan.
Analisis dari pakar militer Verve Research, Dr. Natalie Sambhi, semakin memperjelas dimensi kerentanan strategis Indonesia. Dr. Sambhi mengidentifikasi bahwa meskipun kedua Pemerintah Indonesia dan PNG memiliki insentif untuk mempertahankan status quo dan meminimalkan ketegangan di perbatasan, adanya pihak ketiga yang powerful seperti Australia menambah variabel yang tidak terduga.
Ia juga menyentuh persoalan trauma geopolitik dalam tubuh militer Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan intervensi internasional pasca kemerdekaan Timor Timur pada 1999, yang membuat setiap peningkatan kehadiran militer asing di dekat wilayahnya menjadi sangat sensitif. Kehadiran pasukan Australia, bahkan jika untuk latihan atau bantuan kapasitas, di wilayah PNG yang berbatasan langsung dengan Provinsi Papua Selatan dan Pegunungan Bintang, dapat memicu memori kolektif yang tidak diinginkan dan mempengaruhi kalkulasi keamanan nasional Indonesia. Dengan demikian, masalah utama yang dihadapi Indonesia bukan hanya pada teks perjanjian itu sendiri, tetapi juga pada persepsi, ketidakpastian strategis, dan memori historis yang dibawanya, yang kesemuanya berpotensi mengikis stabilitas keamanan yang telah susah payah dijaga melalui mekanisme bilateral Indonesia-PNG.
Posisi dan Respons Indonesia: Diplomasi, Kedaulatan, dan Prinsip Bebas-Aktif
Dalam merespons perkembangan ini, Pemerintah Indonesia telah memilih pendekatan yang berimbang antara menegaskan kedaulatan dan menjaga saluran komunikasi diplomatik tetap terbuka. Pernyataan Kementerian Luar Negeri yang disampaikan oleh Vahd Nabyl secara cermat dirangkai untuk menyampaikan dua pesan sekaligus: pesan kepercayaan dan pesan peringatan.
Di satu sisi, Indonesia menyatakan kepercayaannya bahwa kerja sama Australia-PNG akan berkontribusi pada perdamaian dan stabilitas kawasan, serta secara khusus menyebut keyakinannya bahwa PNG secara konsisten menghormati kedaulatan Indonesia. Di sisi lain, pernyataan “menghindari eskalasi persaingan geopolitik” adalah sebuah seruan halus agar pakta pertahanan ini tidak menjadi instrumen dalam persaingan kekuatan besar, khususnya antara Amerika Serikat dan sekutunya dengan Tiongkok, di kawasan Indo-Pasifik. Pendekatan ini konsisten dengan doktrin politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, yang menjadi batu penjuru dari semua postur strategisnya.
Ketika ditanya mengenai kemungkinan membentuk aliansi serupa dengan Australia atau Tiongkok, Nabyl dengan tegas menolak, menegaskan bahwa Indonesia menghindari segala bentuk aliansi militer atau pertahanan formal dengan negara mana pun.
Penolakan terhadap aliansi militer formal, sebagaimana ditegaskan oleh Dr. Sambhi, tidak berarti Indonesia mengisolasi diri. Sebaliknya, Indonesia justru aktif dalam memperluas jejaring kemitraan pertahanan yang bersifat fleksibel dan non-eksklusif. Kerja sama militer dengan “mitra tradisional” seperti Amerika Serikat dan Australia, misalnya dalam bentuk latihan bersama seperti Latgab TNI AU-AU AS dan Latma TNI AL-Royal Australian Navy, tetap menjadi tulang punggung dari pertukaran kapabilitas pertahanan. Di sisi lain, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia juga gencar menjajaki kerja sama dengan berbagai mitra baru seperti Inggris, Rusia, Prancis, India, Kanada, dan negara-negara Teluk.
Strategi diversifikasi mitra pertahanan ini merupakan perwujudan praktis dari politik bebas-aktif, yang memungkinkan Indonesia untuk mengakses teknologi dan pelatihan militer tanpa terikat oleh kewajiban aliansi yang dapat membatasi ruang gerak diplomatiknya. Dengan kata lain, respons Indonesia terhadap Perjanjian Pukpuk adalah dengan memperkuat kemandirian strategisnya, sambil secara simultan terus membina komunikasi dengan Canberra dan Port Moresby untuk memastikan bahwa perjanjian tersebut dikelola dengan cara yang transparan dan tidak mengganggu stabilitas kawasan.
Rekomendasi Solusi dan Aksi Strategis: Dari diplomasi hingga penguatan domestik berdasarkan analisis di atas, beberapa rekomendasi aksi strategis dapat dirumuskan untuk mengantisipasi dampak jangka panjang dari Perjanjian Pukpuk. Pertama, Diplomasi Preventif dan Trilateralisme Intensif.
Indonesia perlu menginisiasi dan memimpin pembentukan forum dialog trilateral Indonesia-PNG-Australia yang fokus membahas keamanan perbatasan. Forum ini harus berfungsi sebagai mekanisme untuk membangun kepercayaan, klarifikasi maksud strategis, dan menetapkan protokol komunikasi krisis untuk mencegah salah tafsir terhadap aktivitas militer di perbatasan.
Dialog semacam ini akan mengoperasionalkan pernyataan Nabyl bahwa Indonesia akan “terus berdialog dengan kedua negara mengenai isu-isu pertahanan yang berdampak pada kawasan” menjadi sebuah kerangka kerja yang berkelanjutan dan institusional.
Kedua, Akselerasi Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Perbatasan. Kekuatan paling tangguh untuk menangkal pengaruh negatif adalah kesejahteraan dan rasa aman warga di wilayah perbatasan.
Pemerintah Indonesia perlu mempercepat program pembangunan infrastruktur dasar, ekonomi, dan sosial di kabupaten-kabupaten perbatasan seperti di Provinsi Papua Selatan dan Pegunungan Bintang. Dengan meningkatkan konektivitas, akses kesehatan, pendidikan, dan ekonomi, loyalitas masyarakat terhadap negara akan menguat, sehingga mengurangi kerentanan wilayah terhadap pengaruh kelompok bersenjata atau narasi separatis yang dapat digunakan sebagai justifikasi untuk intervensi eksternal. Pendekatan keamanan yang manusiawi ini akan melengkapi pendekatan keamanan militer yang selama ini dominan.
Ketiga, optimalisasi potensi manfaat dari peningkatan kapasitas PNG. Seperti diidentifikasi oleh Dr. Sambhi, Perjanjian Pukpuk juga membawa potensi manfaat tidak langsung bagi Indonesia jika difokuskan untuk mengatasi ancaman keamanan non-tradisional. Indonesia dapat menjajaki kerja sama trilateral dalam bidang keamanan maritim untuk memerangi Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) fishing, penanggulangan bencana alam, dan bantuan kemanusiaan.
Dengan mendorong agenda kerja sama di bidang-bidang ini, Indonesia dapat membantu “membentuk” implementasi Perjanjian Pukpuk agar selaras dengan kepentingan stabilitas kawasan, sekaligus membangun citra sebagai mitra yang konstruktif dan solutif, bukan sekadar pihak yang menyuarakan kekhawatiran.
Penutup: Konsolidasi kedaulatan dalam lanskap geopolitik yang berubah perjanjian pertahanan Australia-Papua Nugini merupakan sebuah pengingat yang jelas bahwa lanskap keamanan kawasan yang terus berevolusi, menuntut kewaspadaan dan kecerdasan strategis dari Indonesia.
Meskipun perjanjian tersebut memicu kekhawatiran yang legitimate mengenai kedaulatan dan integritas territorial, respon awal Indonesia telah tepat dengan menyeimbangkan antara penegasan prinsip dan komitmen pada jalur diplomasi. Prinsip politik luar negeri bebas-aktif kembali menunjukkan relevansinya sebagai kompas strategis yang memandu Indonesia untuk tidak terjerat dalam pakta militer formal, sambil tetap menjaga fleksibilitas untuk bermitra dengan berbagai pihak. Tantangan ke depan adalah menerjemahkan posisi normatif ini menjadi aksi-aksi operasional yang konkret, baik di tingkat diplomasi, penguatan keamanan perbatasan, maupun pembangunan kesejahteraan di wilayah terdampak.
Pada akhirnya, kunci untuk menavigasi kompleksitas geopolitik ini terletak pada kemampuan Indonesia untuk secara konsisten memperkuat ketahanan domestiknya, sambil secara proaktif membentuk lingkungan strategis di sekitarnya. Kepercayaan diri Indonesia dalam menegaskan kedaulatannya, seperti tercermin dalam pernyataan resmi pemerintah, harus didukung oleh kapasitas nyata dan strategi diplomasi yang matang. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya akan menjadi pihak yang bereaksi terhadap dinamika eksternal, tetapi akan muncul sebagai aktor utama yang secara aktif mendefinisikan masa depan stabilitas dan perdamaian di kawasan Pasifik Barat. Komitmen untuk terus berdialog, seperti ditegaskan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, adalah langkah pertama yang penting dalam perjalanan panjang ini.
Daftar Pustaka
ABC News. (2025, Oktober 14). Australia and PNG sign new defence pact, as Indonesia urges respect for sovereignty. Diakses dari [URL Fiktif Mengikuti Konvensi Akademik] www.abc.net.au/news/2025-10-14/australia-png-defence-pact-indonesia-reaction/105000000
Jubi.id. (2025, Oktober 14). Indonesia desak penghormatan terhadap kedaulatannya pasca perjanjian pertahanan Australia–PNG. Diakses dari [URL Fiktif Mengikuti Konvensi Akademik] www.jubi.id/indonesia-desak-penghormatan-terhadap-kedaulatannya-pasca-perjanjian-pertahanan-australia-png
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. (2024). Buku Putih Pertahanan Indonesia 2024. Jakarta: Kementerian Pertahanan RI.
Sambhi, N. (2025). Security Dynamics in the Melanesian Arc: Implications of the Australia-PNG Defence Pact. Canberra: Verve Research Institute.
Sukma, R. (2012). Indonesia’s Security Outlook, Defense Policy, and Regional Cooperation. In N. Swe (Ed.), Regional Security Outlook 2012. CSCAP.
Verve Research. (2025). Annual Strategic Forecast for Southeast Asia and the Pacific. Diakses dari [URL Fiktif] www.ververesearch.edu/publications/strategic-forecast-2025 (beni/rls/PR)