Jakarta, (PR)
Komisi III DPR menggelar rapat panitia kerja (Panja) bersama Pemerintah membahas RUU Pemasyarakatan. Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Kemenkum HAM, Sri Puguh Budi Utami yang hadir mewakili Pemerintah optimistis pembahasan RUU tersebut selesai di periode DPR 2014-2019.
“Optimis. Sejak 2003 itu sudah diusulkan, terus kemudian selesai sekarang. Jadi udah lama,” kata Sri Puguh usai rapat bersama Komisi III di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin lalu (16/9/2019).
Sri Puguh menyebut usulan RUU tersebut sudah ada sejak tahun 2003 dan telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas). Ia mengatakan ada sejumlah fungsi pemasyarakat yang belum ada dalam UU Nomor 12 Tahun 1995, namun kini telah disebutkan dalam RUU Pemasyarakatan yang tengah dibahas.
“Ada fungsi-fungsi yang sekarang belum ada di UU Nomor 12 masuk ke situ. Ada fungsi pelayanan, ada fungsi pembinaan, fungsi pembimbingan, fungsi perawatan, fungsi pengamanan, itu dulu belum masuk sekarang udah masuk (dalam RUU),” jelasnya.
Revisi UU PAS baru saja dibahas Komisi Hukum DPR bersama pemerintah tadi malam, Selasa, 17 September 2019 dan rencananya disahkan paling lambat pekan depan.
Menurut pembina LPKAN (Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara) Wibisono SH MH mengatakan bahwa salah satu yang sangat penting adalah aturan baru pemberian remisi itu membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
“Saya mendukung upaya revisi tentang remisi ini, karena selaras dengan UU Hak Azasi manusia, Aturan yang diberlakukan adalah PP Nomor 32 tahun 1999, yang berkorelasi dengan KUHP,” terang Wibi.
Dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 terdapat Pasal 34A yang mengatur pemberian remisi bagi narapidana perkara terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi, wajib memenuhi persyaratan.
Salah satu syaratnya adalah bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar tindak pidana yang dilakukannya alias bertindak sebagai justice collaborator.
Adapun dalam PP Nomor 32 Tahun 1999 yang akan kembali berlaku, pemberian remisi diatur dalam Pasal 34. Pasal ini hanya menyebut, setiap narapidana dan anak pidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik berhak mendapatkan remisi. “Dalam RUU yang baru dimuat sepanjang (hak remisi) tidak dicabut oleh pengadilan, itu tetap bisa (mendapatkan remisi),” kata Wibi.
Lanjut Wibi, selama vonis hakim tidak menyebutkan hak terpidana (termasuk remisi) dicabut, terpidana berhak mengajukan remisi kepada Menteri Hukum dan HAM. Pemberian remisi akan mempertimbangkan catatan dari pejabat Pemasyarakatan. (beni/pr)