Jakarta, (PR)
Aksi demonstrasi menolak rasisme di Papua kini mulai bergeser dan masuk dalam isu referendum Papua Merdeka. Aparat kepolisian di Sorong masih mendalami keterlibatan pihak asing dalam aksi demo tersebut yang berujung pada pengibaran bendera bintang kejora di jalanan oleh massa demonstran dan di Kantor Wali Kota Sorong.
Menurut pengamat Militer Wibisono SH MH pada Putera Riau di Jakarta (3/9/2019), bahwa kabarnya massa sempat mengembalikan bendera merah putih dan pernyataan sikap kepada pihak Pemerintah Kota Sorong yang diterima oleh Assisten II Setda Kota Sorong. Tindakan tersebut sudah mengarah kepada disintegrasi bangsa dan aparat keamanan harus bersikap tegas akan hal tersebut.
Sementara itu perkembangan terakhir di Papua, ada empat warga negara asing (WNA) diduga asal Australia dideportasi pada Senin, 2 September 2019 pukul 07.00 WIT, di Bandara Domine Eduard Osok di Kota Sorong, Papua Barat. Mereka dideportasi lantaran terpantau mengikuti aksi demonstrasi menuntut Papua Merdeka di Kantor Wali Kota Sorong pada 27 Agustus 2019 silam.
Hal itu dibenarkan oleh Kepala Sub Bagian Humas Direktorat Jenderal Imigrasi, Sam Fernando. Berdasarkan informasi yang didapat empat WNA itu berasal dari Australia. Saat dideportasi, mereka didampingi oleh empat petugas Imigrasi.
Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Imigrasi Sorong, Cun Sudirharto mengatakan bahwa keempat warga negara asing tersebut dideportasi karena melanggar Undang-Undang Keimigrasian.
*Negara Asing Mulai Ikut Campur Masalah Papua*
Selain Amerika Serikat dan Australia yang diduga ikut campur persoalan Papua, Papua Nugini (PNG) juga ikut campur tentang kondisi Papua Barat. Negara tersebut telah mengulangi seruan agar perwakilan PBB mengunjungi Papua Barat di tengah rangkaian protes sejak pertengahan Agustus 2019.
Menteri Luar Negeri PNG, Soroi Eoe mengatakan kepada parlemen hari ini bahwa kerusuhan terakhir di Papua adalah “situasi yang menyedihkan”.
Dia mengatakan, PNG menghormati kedaulatan Indonesia, tetapi masalah ini perlu ditangani oleh Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB atau KTHAM (OHCHR), demikian seperti dikutip dari Radio New Zealand, Selasa (3/9/2019).
“Vanuatu telah mengambil langkah tetapi Papua Nugini harus sangat berhati-hati mengenai bagaimana kami mengatasi masalah ini karena kami berbagi perbatasan. Di sisi lain adalah Papua Barat, di sisi ini adalah Papua Nugini. Jadi, tanggung jawab kita pertama adalah kepada rakyat kita sendiri,” lanjutnya.
Menanggapi Soroi Eoe, Wibi memperingatkan orang-orang Papua yang kehilangan tempat tinggal akibat konflik dapat merambah perbatasan ke PNG.
*Indonesia Undang Komisi HAM PBB Kunjungi Papua*
Pemerintah Indonesia, sejak awal 2018, telah mengajukan undangan kepada Kantor Komisi Tinggi HAM PBB (OHCHR) untuk mengunjungi Papua Barat. Namun, rencana itu belum kunjung rampung hingga tahun ini.
“Rencana kunjungan KTHAM (OHCHR) ke Papua yang akan diwakili oleh Regional Office KTHAM di Bangkok masih dibicarakan dengan Kementerian Luar Negeri RI terkait jadwal yang disepakati dan hal-hal teknisnya,” kata duta besar Hassan Kleib, Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa-yang merupakan markas OHCHR.
Undangan masih berlaku sampai saat ini, kata Kleib, menekankan bahwa kunjungan ini dapat terlaksana, maka itu “tidak terkait dengan situasi terkini di Papua”, melainkan sudah terjadwal sejak lama.
Wibi menambahkan bahwa persoalan Papua ini tidak hanya persoalan rasisme, tapi sudah ditunggangi negara asing untuk seruan ‘Referendum’ memisahkan diri dari NKRI.
“Saat ini “proxy war” tentang Papua sudah melebar dan semakin komplek, Pemerintah harus tegas dan menindak atas pelaku provokasi ini,” pungkas Wibisono. (beni/pr)