Jakarta, (PR)
Peristiwa kerusuhan di Wamena tanggal 23 September 2019 yang lalu masih menyisakan duka dan trauma yang mendalam bagi rakyat Papua. Kita telah berduka besar atas wafatnya 32 orang pendatang di Papua, yakni terdiri dari 10 orang Padang dan 22 orang Bugis. Sangat tragis, memilukan dan menyesakan dada, karena beberapa diantaranya dibakar hidup hidup.
“Ada juga korban setelah dipanah, setelah itu korbannya dibacok, dan dibakar di sebuah pasar di Wamena. Sebuah perilaku dan perbuatan yang sangat biadab, bahkan tidak berprikemanusiaan,” ujar pengamat militer Wibisono pada Putera Riau, Sabtu pagi (28/9/2019).
Wamena adalah sebuah kota kecil di wilayah Republik Indonesia. Berita tentang pembantaian sadis dan keji disana seakan tertutupi oleh kejadian gerakan mahasiswa di DPR, di pusat ibukota Jakarta. Menko Polhukam, Panglima TNI dan Kapolri pun bungkam atas kejadian ini.
Persoalan rusuh di Wamena bukanlah suasana perang. Ketegangan di Papua selama ini membesar karena menyangkut keinginan rakyat Papua untuk menyerukan referendum. Ini setelah pasca kejadian insiden di Asrama Mahasiswa Papua, di Malang, dan Surabaya. Ketika itu mahasiswa Papua diejek secara rasis dengan sebutan monyet. Akibatnya, rakyat Papua bangkit dan bergerak di seluruh tanah mereka dengan menyuarakan merdeka yang dinilai ditunggangi asing.
“Kenapa kalau ada menyangkut pihak asing aparat kita justru lemah ? Sedangkan menghadapi demo adik adik mahasiswa sangat refresif ? Biarlah rakyat yang menilai,” tegas Wibi yang geram atas tragedi di Papua ini.
Selain itu, kebencian rakyat Papua selama ini sebenarnya bersumber dari kesenjangan sosial antara masyarakat pendatang dan masyarakat pribumi asli. Makanya di saat masalah rasis ini mencuat bulan lalu di asrama mahasiwa Papua di Surabaya dan Malang, menjadi pemicu yang menggerakkan pembangkangan rakyat di Papua.
Saat ini stabilitas keamanan dan politik di Papua mencapai titik terendah. Instabilitas Papua harus di sikapi dengan tegas tapi persuasif, tegas bagi perusuh dan persuasif bagi aksi demo yang murni menyuarakan suaranya.
Pengamat militer, Wibisono
Panglima TNI dan Kapolri telah datang ke Papua. Targetnya, Panglima TNI dan Kapolri dapat meredam gerakan gerakan perlawanan rakyat Papua, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal. Namun, belum sebulan dari kunjungan kedua pimpinan aparatur keamanan ini ke Papua, tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan terjadi di Wamena.
“Kerusuhan di Wamena yang berkarakter kebencian terhadap masyarakat pendatang ternyata tidak diantisipasi dengan baik oleh aparat keamanan,” kata Wibi.
Kejadian kerusuhan di Wamena ini bisa dibilang kecolongan aparat keamanan gagal mengantisipasi kejadian ini. “Atas kejadian ini timbul pertanyaan, apakah masih ada perlindungan dari negara kepada warga negaranya ? Bagaimana negara memberikan kepastian atas nasib orang orang non Papua di tanah papua?,” tanya Wibi.
Kebencian rakyat asli Papua atas pernyataan rasis yang mereka terima dari segelintir orang di Malang dan Surabaya, tidak boleh serta merta mengantarkan mereka membenci orang-orang non Papua disana. Sebab, orang-orang Indonesia yang pergi ke Papua bukanlah kelompok bersenjata maupun kelompok pembenci rakyat Papua. Mereka adalah orang-orang yang mencari rejeki dan usaha yang tidak mengenal batas wilayah RI.
“Dengan kejadian pembantaian etnis non asli Papua yang terjadi di Wamena, Presiden Jokowi tidak boleh mentolerir pembantaian ini. Masalah horizontal dapat didekati dengan berbagai dialog, namun pembantaian etnis haruslah dilakukan dengan kekuatan aparat keamanan negara, TNI harus memperkuat Polri “At all force dan At all cost”. Langkah inilah yang harus segera dilakukan aparat keamanan negara,” pungkas Wibisono. (beni/pr)