fbpx
Example 728x250
Breaking NewsHedalineJakartaNasionalSeputar IndonesiaSosial dan Politik

Pengamat Militer : Tragedi Kemanusiaan di Wamena, Negara Dinilai Lalai

1685
×

Pengamat Militer : Tragedi Kemanusiaan di Wamena, Negara Dinilai Lalai

Sebarkan artikel ini


Jakarta, (PR)

Peristiwa kerusuhan di Wamena tanggal 23 September 2019 yang lalu masih menyisakan duka dan trauma yang mendalam bagi rakyat Papua. Kita telah berduka besar atas wafatnya 32 orang pendatang di Papua, yakni terdiri dari 10 orang Padang dan 22 orang Bugis. Sangat tragis, memilukan dan menyesakan dada, karena beberapa diantaranya dibakar hidup hidup.

Wamena adalah sebuah kota kecil di wilayah Republik Indonesia. Berita tentang pembantaian sadis dan keji disana seakan tertutupi oleh kejadian gerakan mahasiswa di DPR, di pusat ibukota Jakarta, Menko Polhukam, Panglima TNI dan Kapolri pun bungkam atas kejadian ini.

“Persoalan rusuh di Wamena bukanlah suasana perang. Ketegangan di Papua selama ini membesar karena menyangkut keinginan rakyat Papua untuk menyerukan ‘referendum’. Ini setelah pasca kejadian insiden di asrama Mahasiswa Papua di Malang, dan Surabaya. Ketika itu mahasiswa Papua diejek secara rasis dengan sebutan monyet. Akibatnya, rakyat Papua bangkit dan bergerak di seluruh wilayah Papua dengan menyuarakan referendum yang dinilai ditunggangi pihak asing, tapi kenapa kalau ada menyangkut pihak asing Aparat kita justru lemah ? Sedangkan menghadapi demo mahasiswa dan pelajar sangat refresif ? Saya nilai negara lalai terhadap keamanan warga negaranya,” ujar pengamat militer Wibisono Minggu siang (29/9/2019).

Selain itu, kebencian rakyat Papua selama ini sebenarnya bersumber dari kesenjangan sosial antara masyarakat pendatang dan masyarakat pribumi asli, makanya disaat masalah rasis ini mencuat bulan lalu di asrama mahasiwa Papua di Surabaya dan Malang, telah menjadi pemicu yang menggerakkan pembangkangan rakyat di Papua.

Saat ini stabilitas keamanan dan politik di Papua mencapai titik terendah. Instabilitas Papua harus di sikapi dengan tegas tapi persuasif, tegas bagi perusuh dan persuasif bagi aksi demo yang murni menyuarakan suaranya.

Panglima TNI dan Kapolri telah datang ke Papua. Targetnya, Panglima TNI dan Kapolri dapat meredam gerakan gerakan perlawanan rakyat Papua, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal, Namun, belum sebulan dari kunjungan kedua pimpinan aparatur keamanan ini ke Papua, tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan terjadi di Wamena.

“Kerusuhan di Wamena yang dipicu isue kebencian terhadap masyarakat pendatang ternyata tidak diantisipasi dengan baik oleh aparat keamanan,” kata Wibi.

Kejadian kerusuhan di Wamena ini bisa dibilang kecolongan dan aparat keamanan gagal mengantisipasi kejadian ini. Atas kejadian ini timbul pertanyaan, apakah masih ada perlindungan dari negara kepada warga negaranya?,Bagaimana negara memberikan kepastian keamanan atas nasib orang orang non Papua di tanah papua?, tegas wibi.

Kebencian rakyat asli Papua atas pernyataan rasis yang mereka terima dari segelintir orang di Malang dan Surabaya, tidak boleh serta merta mengantarkan mereka membenci orang orang non Papua di sana. Sebab, orang-orang Indonesia yang pergi ke Papua bukanlah kelompok bersenjata maupun kelompok pembenci rakyat Papua, mereka adalah orang orang yang mencari rejeki dan usaha yang tidak mengenal batas wilayah RI.

Dengan kejadian pembantaian etnis non asli Papua, yang terjadi di Wamena, Presiden Jokowi tidak boleh mentolerir pembantaian ini, masalah horizontal dapat didekati dengan berbagai dialog, namun pembantaian etnis haruslah dilakukan dengan kekuatan aparat keamanan negara, TNI harus memperkuat Polri ,“at all force dan at all cost”, langkah inilah yang harus segera dilakukan oleh aparat keamanan negara, tandas Wibi.

Saat ini terjadi gelombang eksodus ternyata bukan saja dari Wamena, Ibu Kota Jayawijaya, Papua. Warga tiga kabupaten juga lari dari kampung mereka karena adanya teror dan pengusiran dari kelompok yang tidak bertanggung jawab.

Untuk sementara, pengungsian sekitar 8.617 warga dipusatkan di Kota Wamena,  Sabtu (28/9). Selain warga Wamena, ribuan warga dari wilayah Kabupaten Tolikara, Yalimo, dan Lanny Jaya, juga angkat kaki dari kampung mereka.

Komandan Kodim 1702/Jayawijaya, Letkol Inf Candra Dianto, saat dihubungi melalui telepon, Sabtu (28/9), mencatat 3.200 pengungsi telah berada di Markas TNI. Pengungsi akan terus bertambah menyusul adanya arus warga dari Kabupaten Yalimo, Lanny Jaya dan Tolikara.

“Di tempat kita sudah 3.200 pengungsi, bertambah lagi. Keseluruhan sekitar 5.500 orang. Jadi jumlah tetap karena ada yang turun ke Jayapura dan ada yang datang ke Wamena. Pengungsi berdatangan ke Wamena dari Kabupaten Yalimo, Lanny Jaya dan Tolikara,” kata Candra.

Hingga saat ini untuk jumlah Pengungsi yang terdata 8.617 jiwa.

*Dewan PBB Soroti Kejadian Papua*

Saat sidang tahunan PBB juga menyoroti Kerusuhan sosial yang telah terjadi di Papua, Papua Barat dan Jakarta, yang dipicu dengan beberapa agenda politik dan “masalah ras dan budaya”. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York pada umumnya memutuskan Papua dan Papua Barat masih milik ke Indonesia. Menteri luar negeri Indonesia, Retno Marsudi itu menangis terharu saat ikuti acara sidang PBB.

Namun pada dasarnya, hasil sidang umum PBB yang berkaitan dengan Papua dan Papua Barat yang telah menunjukkan bahwa suatu komunitas internasional dan negara negara sahabat di Indonesia masih percaya dengan Indonesia ketimbang non negara atau aktor negara yang telah digunakan dan memainkan isue Papua untuk tujuan politik dan oportunistik mereka.

Selanjutnya, sidang umum PBB telah memutuskan Papua dan Papua Barat adalah integral dalam wilayah teritorial Indonesia. Di tahun-tahun yang akan datang Pemerintahan (Jokowi dan Ma’ruf Amin) diharapkan lebih ‘attentioned’ tentang masalah Papua dan Papua Barat secara konsisten memberikan kesejahteraan rakyat Papua seperti mewujudkan 9 permintaan 61 tokoh Papua yang telah bertemu dengan Presiden Jokowi di istana Presiden yang lalu, kata Wibi.

Tapi, untuk badan intelijen negara (BIN) dan aparat keamanan terus wajib menjaga keamanan di Papua melalui deteksi efisien, efektif, berguna dan prediksi awal dan pemecahan masalah awal di Papua dan Papua Barat. Karena seruan ‘Freedom’ Papua Movement/OPM telah membumi dan akan terus melakukan intimidasi terhadap rakyat Papua dan pastinya mereka didukung oleh pihak asing, pungkas Wibi. (beni/pr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *