Jakarta, (PR)
Kerusuhan di Papua dan Papua Barat masih menyisakan perdebatan publik, terutama penanganan dalam merespon perkembangan situasi pasca kerusuhan di Papua dengan melakukan throttling alias pelambatan akses (blokir) internet di beberapa wilayah Papua.
“Cara-cara ini tidak tepat, karena publik dibatasi dengan berita yang terkini dari sana,” ujar pengamat Militer Wibisono SH MH di Jakarta, Jumat (23/8/2019).
Menurutnya, perlambatan akses internet ini seharusnya tidak dilakukan oleh Pemerintah. Selain melanggar hak masyarakat untuk mendapat hak atas informasi, mengumpulkan dan menyebarkan informasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945.
Hal senada juga dilontarkan oleh Kordinator Kontras, Yati Andriyani pada Kamis (22/8/2019). Menurutnya tindakan Pemerintah menunjukan bahwa negara tidak berimbang dan tidak proporsional dalam merespon persoalan yang berkembang di Papua.
“Cara tersebut, alih-alih membangun rasa percaya rakyat Papua atas langkah dan keberpihakan Pemerintah pada rakyat Papua, sebaliknya justru semakin menunjukkan adanya perlakuan diskriminatif yang berlapis kepada rakyat Papua,” ulasnya.
Wibisono menambahkan, disisi lain tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua belum jelas penegakan hukumnya dan penyelesaian pelanggaran HAM belum tuntas.
Selanjutnya ketika Pemerintah menambahkan aparat pengamanan di Papua, seharusnya akses informasi justru semakin dibuka seluas-luasnya untuk memastikan ada pengawasan publik-masyarakat secara luas dan terbuka baik dari Papua mauapun luar Papua, tandas Wibi yang juga sebagai Pembina LPKAN (Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara) ini.
“Pemblokiran akses internet justru semakin membuat pemerintah terkesan menghindari pengawasan dan transparansi dalam menangani situasi di Papua, ini ada apa?” imbuhnya.
Seharusnya Pemerintah bisa mengeluarkan laporan secara berkala untuk menekan kesimpangsiuran informasi yang berkembang di masyarakat.
“Dengan mengeluarkan laporan berkala yang netral dan faktual mengenai kondisi lapangan yang sesungguhnya terjadi. Masyarakat kemudian bisa melakukan crosscheck informasi kepada pemberitaan media-media kredibel yang terdaftar di Dewan Pers,” lanjutnya.
South East Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mengatakan sesungguhnya verifikasi hoaks juga bisa dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kembali (cross check) dengan berita-berita valid dari media kredibel.
Sedangkan menurut Kepala divisi akses informasi SAFEnet, Unggul Sagena mengatakan untuk memverifikasi data, masyarakat bisa mengandalkan media mainstream yang melakukan pemberitaan berimbang.
“Media mainstream yang meliput dengan kode etik jurnalistik tentu akan melakukan berita berimbang cover both side dan korespondensi jurnalis di Papua dan Papua Barat,” pungkasnya. (beni/pr)