Oleh : Wibisono
Sebanyak 141 tokoh yang terdiri dari purnawirawan TNI, anggota Kabinet Merah Putih, pimpinan lembaga legislatif, tokoh kehakiman dan kepolisian, musisi, sastrawan, pengusaha dan budayawan menerima tanda jasa dan tanda kehormatan dari Presiden Prabowo.
Para tokoh tersebut mendapatkan tanda kehormatan yang terdiri dari 10 bintang kehormatan yakni, Bintang Republik Indonesia Utama, Bintang Mahaputera Adipurna, Bintang Mahaputera Adipradana, Bintang Mahaputera Utama, Bintang Mahaputera Pratama, Bintang Mahaputera Nararya, Bintang Jasa Utama, Bintang Jasa Nararya, Bintang Kemanusiaan, Bintang Sakti.
Dikutip dari laman resmi Sekretariat Negara, tanda kehormatan Bintang Mahaputera diberikan berdasarkan Pasal 28 Ayat (2) UU 20/2009 kepada para tokoh yang memenuhi tiga kriteria. Pertama, berjasa luar biasa di berbagai bidang yang bermanfaat bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa dan negara. Kedua, berjasa karena pengabdian dan pengorbanannya di bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi dan beberapa bidang lain yang besar manfaat bagi bangsa dan negara. Ketiga, darma bakti dan jasanya diakui secara luas di tingkat nasional dan internasional.
Bintang Mahaputera, sejak mula, diciptakan sebagai mahkota kenegaraan: tanda bahwa republik tahu cara menghormati putra bangsa terbaik. Simbol ini pernah menghiasi dada Jenderal Soedirman—panglima gerilya yang dengan paru-paru yang tinggal separuh tetap memimpin perang mempertahankan republik. Ia pernah bersinar di dada Mohammad Natsir—perdana menteri yang dengan Mosi Integral menyatukan kembali Indonesia dalam bentuk NKRI. Ia juga pernah terpancang di dada Ki Hajar Dewantara—bapak pendidikan nasional, yang dengan Taman Siswa mencetak generasi merdeka, juga perancang pasal-pasal pendidikan dan kebudayaan dalam konstitusi.
Di dada mereka, bintang itu tampak wajar, seakan hanya melanjutkan sinar pengabdian yang memang telah terpancar dari hidup mereka. Bintang itu bukan sekadar logam, melainkan pantulan dari jasa dan pengorbanan yang tulus bagi bangsa.
Tetapi kini, sejarah berbalik arah.Bintang Mahaputera, yang dulu dipersembahkan untuk para pemikul beban republik, kini kerap jatuh menjadi sekadar bros pesta politik. Ia tidak lagi dipakai untuk menandai pengabdian kepada negara, melainkan untuk menandai kesetiaan pada seorang. Simbol sakral berubah menjadi souvenir, tanda terima kasih bagi para pengiring kuasa.
Ironi pun menohok: baru diangkat jadi pejabat, belum sempat menorehkan karya berarti, sudah disematkan bintang Mahaputera. Bintang yang dulu menyinari jalan bangsa kini dipakai untuk menyoroti panggung kekuasaan. Bukan lagi penanda pengabdian, melainkan aksesori yang menutupi noda kompromi.
Dan rakyat pun tahu, bahwa bintang mahaputera ini hanya sekedar ucapan terima kasih kepada tim sukses yang menghantarkan Prabowo dipuncak kekuasaan,bintang yang dulu abadi kini hanya sekadar lampu sorot sesaat, sekedar bros yang tersemat di dada, kehilangan kemilau aura sejatinya.
Sangat ironis bukan?, bintang mahaputera di obral bagai sebuah souvenir bagi yang menerimanya.
*Penulis: Pembina lembaga pengawas kinerja aparatur negara (LPKAN)*