fbpx
Example 728x250
Breaking NewsIndragiri HilirOpiniRiau

Puasa dan Pensucian Jiwa

586
×

Puasa dan Pensucian Jiwa

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ahmad Tamimi

Ketika memasuki bulan Ramadhan, setiap muslim diharuskan berpuasa. Hal ini dijelaskan dalam al-qur’an, “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (Qs. Al-Baqarah:183).

Ramadhan merupakan bulan istimewa yang secara amaliyah dapat digandakan pahala dan kebaikan di dalamnya. Untuk memahami kelebihan bulan ini dapat kita telusuri apa sesungguhnya makna ramadhan. Sehingga nantinya kita dapat melihat ada sebuah visi besar yang diatur oleh Allah dalam satu tahun sekali yang sejalan dengan agenda puasa dan amalan lainnya (misi) yang dapat mensucikan jiwa serta membentuk karakter muslim yang takwa. Ramadhan dapat diartikan dengan mengasah, menghapus dan membakar, dari tiga kata ini memiliki orientasi yang berbeda.

Pertama; Membakar dapat diorientasikan kepada bentuk prilaku-pirilaku negatif yang kaitannya bukan hanya dalam hubungan hamba dengan Allah tapi juga hubungannya dengan sesama manusia. Kedua; Menghapus, orientasi menghapus lebih kepada persoalan dosa-dosa pribadi yang telah diperbuat selama hidup, baik dalam hubungan dengan Allah terlebih pada sesama manusia, targetnya adalah tersucinya jiwa dari bintik noda dan dosa.

Sebagai manusia kita tentu punya bertanggungjawab kepada Allah SWT, karena awalnya (sejak kecil) kita telah dipinjamkan ruh dalam keadaan suci bersih bagaikan kertas putih. Maka, ketika akan dikembalikan juga harus dalam keadaan suci dan bersih pula. “Qad aflahaman zakkahaa waqad khaa baman dassaahaa” artinya; sungguh beruntunglah bagi orang-orang yang membersihkan hatinya dan sungguh merugi atau sengsara bagi yang mengotorinya. (Qs. As-syam: 9-10). Kenapa ketika dewasa (baligh) kita harus senantiasa mensucikan jiwa, hal ini di karenakan kita tidak tahu kapan ajal akan menjemput, oleh karena itu kita dituntut untuk selalu bersiap-siap.

Ketiga: mengasah, apa sesungguhnya yang diasah, yang diasah adalah “rasa”, rasa yang bersemayam di hati. Rasa terbagi atas dua, yaitu rasa ber-ke-Tuhanan dan rasa ber-Kemanusiaan. Adapun indikator munculnya rasa ber-Tuhan dapat dilihat dari sikap, misalnya setelah melakukan proses selama ramadhan bertambahnya kesadaran untuk mengabdi yang dibuktikan dengan prilaku amaliahnya dalam hidup keseharian.

Kemudian indikator munculnya rasa berkemanusiaan ialah lahirnya prilaku baik dalam dunia pergaulan, seperti tingginya kepedulian sosial, paham dan mengerti akan keadaan orang lain serta senantiasa membantu dan mendo’akannya. Hidup di tengah masyarakat tidak membuat resah dan gaduh orang lain, selalu berpikir bahwa diriku bukan hanya untukku, tapi juga untuk orang lain, hartaku bukan hanya untukku dan keluarga tapi juga ada hak orang lain.

Inilah yang menjadi target visi amaliah dari proses ramadhan yang sekaligus memberi efek positif bagi kehidupan muslim secara individu maupun sosial. Sehingga akhir ramadhan nanti dapat diukur kembali hasil dari ritual yang telah dijalani selama satu bulan penuh apakah telah berhasil memberi sentuhan di wilayah kedua rasa ini. Oleh karena itu pada paragraf selanjutnya kita perlu meneruskan perbincangan ini untuk mendalami bagaimana sesungguhnya ibadah puasa mampu membentuk prilaku dan mensucikan jiwa pelakunya.

Bicara puasa maka kita bicara tidak makan, bicara tidak makan pasti ada hubungan dengan tubuh, begitu juga bicara tidak minum pasti bicara rasa haus. Ada satu dorongan pada diri setiap manusia yaitu keinginan untuk makan, minum, marah, seks, hidup mewah dan lain-lain, ini juga yang disebut dengan dorongan alam rendah. Kenapa dalam perintah berpuasa kita disuruh untuk menahan beberapa hal tersebut, karena salah satu fungsi penting puasa adalah ingin melepaskan dominasi ikatan materi yang senantiasa menjadikan nafsu sebagai penentu. Inilah yang membuat ruhani sulit aktif ke-Allah.

Hal yang senada sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab dalam buku Madarij Al-Salikin ia mengemukakan pengalaman seorang sufi besar (Abu Yazid Al-Busthamy) yang konon suatu ketika bermunajad kepada Allah: “Yaa Allah bagaimana caranya berjalan menuju kehadirat-Mu? “ketika itu jiwanya mendengar suara bisikan: ”ketahuilah bahwa nafsu adalah gunung yang tinggi dan besar. Dialah yang merintangi perjalanan menuju Allah dan tidak ada jalan lain yang dapat ditelusuri kecuali mendakinya terlebih dahulu. Puasa adalah salah satu cara atau bulan latihan untuk menghalangi rintangan itu dengan berusaha terus mendaki mengalahkan tingginya puncak dominasi nafsu dalam diri.

Keberhasilan dalam proses ramadhan bukan hanya dapat mengangkat pribadi tapi juga meninggikan ruhaninya menuju Allah sehingga tidak mudah disentuh oleh bujuk rayu iblis yang menggoda. Ketika itu ruhani sedikit demi sedikit tercerahkan sehingga mudah merespon kebesaran Allah. Jadi, ketika berpuasa kita belajar untuk mengendalikan hawa nafsu mulai dari awal puasa hingga di akhir ramadhan. Oleh karena itu, ketika memasuki tanggal satu syawal kita diperintahkan untuk merayakan hari raya Idul Fitri yaitu hari kemenangan dan kebebasan, karena telah berhasil melewati proses latihan selama satu bulan penuh.

Rasulullah menjelaskan bahwa; “Barang siapa yang berpuasa selama ramadhan dengan penuh keimanan dan perhitungan, maka akan dihapus semua dosanya yang telah lalu” (al-Hadist). Makna penuh keimanan adalah melaksanakan proses ibadah puasa benar-benar total karena Alllah SWT, sedangkan penuh perhitungan adalah benar-benar memanfaatkan kelebihan dan keagungan bulan ramadhan untuk mendidik diri sehingga menjadi pribadi takwa. Artinya visi meraih kesucian jiwa dan membentuk pribadi takwa hanya dapat diwujudkan ketika dilakukan dengan sikap iman yang sadar dan ketekunan dalam pelaksanaan.

Puasa merupakan sebuah amal yang dilakukan dengan niat yang penuh, dan saya meyakini sesuantu yang dilakukan secara berulang-ulang dengan niat atau kesadaran yang penuh akan mampu membentuk prilaku (karakter), terlebih ini dilakukan dalam tujuannya dengan Allah yang maha merespon niat dan doa. Satu contoh sederhana, setelah beranjak dewasa si Badu menjadi seorang yang pemabuk dan pencuri di desa itu. Pertanyaannya adalah; apakah menjadi seorang pemabuk dan pencuri ini adalah cita-cita atau keinginan Si Badu dan orang tuanya, barangkali tentu tidak, karena tidak seorangpun yang menginginkan anak atau dirinya menjadi penjahat. Akan tetapi kenapa si Badu menjadi penjahat, padahal dia dan orang tuanya sendiri tak pernah niat untuk menjadin jahat.

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa sesuatu yang tidak niat saja jika dilakukan secara terus-menerus akan membentuk prilaku, apalagi sesuatu yang dilakukan berulang-ulang yang dilandasi atas niat dan cita-cita yang sadar, tentu hasilnya lebih sempurna. Oleh karenaya saya meyakini bahwa proses puasa akan mampu membentuk prilaku, lahirnya prilaku baik merupakan konsekuensi logis dari bersihnya jiwa dari kotoran noda dan dosa sebagai hasil dari interaksi dengan Allah SWT. (Pr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *