Pekanbaru, (puterariau.com)
Kematian yang menimpa M. Yusuf, seorang wartawan di Kotabaru yang berproses hukum atas karya jurnalistiknya yang mengkritisi perkebunan sawit di wilayahnya di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan menjadi duka yang mendalam bagi insan Pers.
Hal ini akibat kebijakan ngawur yang dikeluarkan oleh Dewan Pers. Sehingga membuat banyak organisasi wartawan berang dan beramai-ramai menggugat bahkan mendemo Dewan Pers.
Salah satu organisasi pers yang secara tegas dan berani mengeluarkan ultimatum yakni organisasi wartawan Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) dengan meminta Dewan Pers untuk meminta maaf secara terbuka atas perilaku Dewan Pers yang telah menyebabkan hilangnya nyawa seorang wartawan.
Hal ini disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI), DR. Suriyanto, SH, MH, MKn atas peristiwa yang menimpa M. Yusuf.
Sebagai Ketua Umum PWRI, Suriyanto secara tegas menolak proses hukum pidana UU ITE yang menjerat almarhum M. Yusuf di Pengadilan Negeri Kotabaru, Kalimantan Selatan. Kemudian Komisioner Dewan Pers harus mengakui sikapnya telah merusak citra Dewan Pers hingga menyebabkan kematian seorang wartawan di Kotabaru. Selanjutnya Dewan Pers harus mengakui telah lalai mendiamkan proses hukum yang menimpa M. Yusuf.
Dewan Pers harus mengambil alih proses persidangan di Pengadilan Negeri Kotabaru agar status hukum almarhum bukan sebagai kriminal biasa melainkan adalah seorang wartawan yang merupakan kebanggaan keluarga yang ditinggalkan.
Dalam hal ini meminta Dewan Pers meminta maaf secara terbuka kepada seluruh wartawan dan organisasi wartawan di seluruh Indonesia atas rekomendasinya kepada Kepolisian.
Terakhir, meminta Dewan Pers harus memahami pernyataan Wakapolri atas kejadian ini agar jajarannya tidak langsung menjerat wartawan dengan UU ITE, untuk itu Dewan Pers jangan cuci tangan atas permasalahan permasalahan karya jurnalistik.
Ketua Umum PWRI mengajak seluruh DPD dan DPC PWRI se-Indonesia mengambil sikap agar Dewan Pers meminta maaf secara terbuka atas kebijakan ngawur plus zalim yang selama ini telah dibuat.
Sementara itu, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PWRI Provinsi Riau, R. Susi mengatakan Dewan Pers harus segera meminta maaf atas kebijakan yang dibuat sehingga mengakibatkan seorang wartawan meninggal dunia.
“Kejadian ini sangat membuat insan pers berduka, kami DPD PWRI Se-Prov Riau mengutuk keras dan meminta Dewan Pers secepatnya meinta maaf. Dewan Pers telah lalai tidak mengambil alih proses hukum yang menimpa M. Yusuf, ” ujar R. Susi.
Senada dengan R. Susi, Ketua DPC PWRI Kota Pekanbaru, Fadila Saputra juga mengecam perilaku Dewan Pers yang menyimpang dari kaedahnya. Seharus nya Dewan Pers sebagai Lembaga Pengayom dan pelindung bagi Insan Pers, namun saat ini Dewan Pers berganti peran sebagai pembunuh insan pers seluruh Indonesia.
“Ketua Dewan Pers harus meminta maaf kepada seluruh wartawan se-Indonesia atas kejadian ini. Dewan Pers jangan lari dari tupoksi nya untuk melindungi dan mengayomi wartawan,” tegas Fadil.
Selama ini, wartawan yang keras dan benar terkesan dimusuhi oleh koruptor dan oknum-oknum yang tidak benar, sehingga hancurnya disana-sini. Apalagi jika penguasa dan pengusaha yang kemaruk menyalahi aturan, tentu dengan kekuatan dan power politik berusaha memberangus wartawan yang berani, tegas dan independen.
Ketum PWRI Angkat Bicara : Pengurus Dewan Pers Segera mundur sebelum dimundurkan
Apapun alibi Dewan Pers dan organisasi kaki tangannya, yang namanya produk jurnalistik yang salah harus diselesaikan di Dewan Pers sesuai UU Pers. Hal ini ditegaskan Ketua PWRI dalam kesempatan ini yang diamini oleh seluruh pengurus DPD PWRI Riau dan PWRI Kota Pekanbaru.
“Sepanjang tidak ada OTT permasalahan uang, produk jurnalistik tidak bisa dipidanaumumkan. Ini menjadi pembelajaran buat insan pers nasional dan masyarakat,” katanya.
“Kita sebagai seluruh organisasi pers yang dikucilkan oleh DP dan kaki tangannya, bila permasalahan kriminalisasi pers tidak juga pemerintah turun tangan, maka kita semua sepakat dari daerah dan pusat akan mengadakan aksi penyelamatan kebebasan yang beretika jilid dua dengan aksi ribuan wartawan dan pengurus organisasi pers secara mandiri, bukan aksi bayaran. Saya bersama 17 orpers menghimbau pemerintah untuk mengadakan konsolidasi secara terbuka kepada seluruh organisasi pers tanpa tebang pilih untuk duduk bersama. Menyepakati pengaturan dan peraturan untuk pers masional NKRI yang lebih baik tanpa ada pengkotak-kotakan, termasuk pelaksanaan hari pers nasional harus diambil alih oleh pemerintah menunjuk salah satu lembaga untuk melaksanakannya,” beber Ketua Umum.
Pemerintah harus mengundang para orpers dan pimpinan media. “Tidak seperti yang telah lalu. HPN milik semua yang ditentukan oleh pemerintah. Mengapa PWI yang melaksanakan dan dihadiri oleh Presiden serta hanya kelompok saja yang diundang ? Saya sudah empat tahun memimpin PWRI dan sudah berkibar sampai ke pelosok negeri ini tidak pernah diundang. Apakah wartawan semua bukan bagian dari pers nasional dan bangsa Indonesia ? Hal ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Kami yang kecil ini ada ratusan ribu. Jangan dibiarkan dan didiskriminasi. Kami selalu ingin berbuat yang terbaik untuk bangsa ini,” pungkasnya. (beni/pr)