Pekanbaru, (PR)
Insiden pengusiran dan pelarangan wartawan dengan kekerasan dalam agenda Rapat Kerja Gabungan Komisi terkait refocusing anggaran APBD Kota Pekanbaru pada Jumat, (08/05) pukul 11.00 WIB di ruang rapat Paripurna DPRD Kota Pekanbaru kepada pimpinan media puterariau.com, Fadila Saputra membuat dunia pers Riau mengecam tindakan tersebut . Apalagi, saat itu rapat bersifat terbuka, yakni dalam artian jangankan insan pers, masyarakat pun boleh menghadiri dan memantau rapat yang membahas anggaran Covid 19 itu.
Menurut Ketua DPD Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) Riau, Hj. Raja Susi Dewi Yanti SS MM mengatakan sangat prihatin terhadap pers yang selalu di kebiri oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
“Kita sangat menyayangkan pengusiran dan penganiayaan terhadap pers itu terjadi. Kedepannya ini pembelajaran bagi kita semua agar pers diberi ruang sesuai UU No 40 tahun 1999,” tegasnya.
Dikatakannya lagi, insiden pengusiran tersebut menjadi bukti bahwa ajudan T Azwendi dkk tidak cukup paham tentang UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik.
“Ajudan Wakil Ketua DPRD pekanbaru dari Partai Demokrat itu tidak paham dengan UU PERS, makanya dia semena-mena dan brutal, sebab tugas profesi jurnalis itu dilindungi oleh UU, yakni UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Tugas profesi jurnalis jelas dilindungi UU, jadi tidak bisa dihalangi,” tegasnya.
Kuasa Hukum Apresiasi Kinerja Aparat Hukum
Menurut Kuasa Hukum Fadila Saputra, Anifam Tanjung SH didampingi Ferry Satma SH mengatakan bahwa pihaknya telah menerima hasil SP2HPL dari Polsek Pekanbaru Kota. “Kita sangat mengapresiasi kinerja penyidik Reskrim Polsek Pekanbaru Kota yang melaksanakan tugas sebaik mungkin. Kemudian, kami meminta rencana pemanggilan terlapor segera direalisasikan. Karena biar semua terang benderang di mata hukum,” ujarnya.
Dikatakannya lagi, kedepannya kita siap bekerja sama dengan penyidik untuk saling membantu mengungkap kebenaran tentang kasus hukum ini demi terciptanya hukum yang seadil-adilnya. ” Kasus pengusiran, penghinaan terhadap klien kami yang merupakan wartawan dan pemilik media ini harus diusut tuntas sesuai undang-undang yang berlaku dengan tidak mengenyampingkan UU no 40 tahun 1999 tentang pers,” tegas Anifam.
Ketua DPRD Pekanbaru Dukung Pengusutan Kasus Pengusiran Wartawan
Sebelumnya, Ketua DPRD Pekanbaru sangat menyayangkan pengusiran wartawan dengan tindakan premanisme. Apalagi dikatakannya bahwa sidang saat itu (Jumat, 08/05) bersifat terbuka, yakni membahas masalah anggaran penanganan Covid 19.
Ketua DPRD Pekanbaru, Hamdani menegaskan di depan Kapolres Pekanbaru, AKBP Nandang Mu’min Wijaya, Jumat pagi (15/05) agar penegak hukum mengusut tuntas tindakan premanisme pada wartawan ini.
“Saya mendukung penuh laporan ini, usut tuntas kasus premanisme terhadap wartawan di gedung rakyat,” pintanya. Dirinya sangat mengecam dan menyayangkan kejadian pada pekan lalu tersebut.
Sementara itu, Kapolres Pekanbaru, AKBP Nandang Mu’min Wijaya di depan Ketua DPRD Pekanbaru mengaku telah menerima laporan tersebut. Dikatakan bahwa saat ini pihak Kepolisian sedang menindaklanjutinya.
Sebagaimana diketahui, peristiwa premanisme dan pengusiran wartawan di gedung DPRD Kota Pekanbaru tersebut menjadi viral akibat dilakukan oleh ajudan Wakil Ketua DPRD Kota Pekanbaru dari Partai Demokrat, T. Azwendi Fajri. Dugaan muncul berkembang pada tindak tanduk wakil rakyat itu selama ini. Jangankan terhadap rakyat, pada wartawan pun masih sempat mereka lakukan aksi premanisme.
Untuk diketahui, tindakan kekerasan aksi premanisme pengusiran dan penghinaan pada wartawan ini diduga dilakukan oleh oknum Ade Barto alias Ade Marton dan Raden Marwan (Staf protokol Sekwan DPRD Kota Pekanbaru). Sebagaimana diketahui, Ade Barto merupakan ajudan T. Aswendi Wakil Ketua DPRD kota Pekanbaru.
Mengenai aksi premanisme di gedung rakyat tersebut, sudah dilaporkan dengan No Laporan STPL : B/STPL/43/V/2020/RIAU/RESTA PEKANBARU/SEKTOR PBR KOTA.
Selain dugaan tuduhan penghinaan saja dan pengusiran, tersangka dapat dijerat dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 pasal 18 ayat (1) yang berbunyi : Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). (pr/rl)