Oleh: Fadila Saputra
Dua puluh lima tahun setelah reformasi 1998, wajah pemerintahan Indonesia telah banyak berubah. Dari sistem yang dahulu serba terpusat menuju era desentralisasi yang memberi ruang lebih besar bagi daerah untuk mengelola urusannya sendiri. Namun, di tengah perubahan besar itu, satu lembaga negara tetap memegang peranan sentral dalam menjaga stabilitas bangsa, yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Peran Polri tak bisa dilepaskan dari empat konsensus dasar bangsa—Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Keempatnya menjadi landasan moral dan konstitusional bagi setiap institusi negara, termasuk Polri, dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Polri memiliki tiga tugas utama: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. Namun, tugas itu tak berdiri sendiri. Ia terikat dan berkelindan dengan sistem pemerintahan yang berlaku.
Polri dan Dinamika Sistem Pemerintahan
Dalam konteks Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan dibagi menjadi tiga: urusan absolut, urusan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Di sinilah posisi Polri menemukan konteks strategisnya.
Pertama, pada urusan absolut, Polri berada langsung di bawah Presiden. Hal ini logis, karena urusan keamanan merupakan tanggung jawab konstitusional Presiden sebagai kepala negara. Presiden tidak bisa melimpahkan kewenangan menjaga stabilitas nasional kepada kementerian atau lembaga lain. Dengan demikian, kedudukan Polri di bawah Presiden bukan sekadar struktur birokrasi, tetapi juga bentuk tanggung jawab politik dan kenegaraan.
Kedua, dalam urusan konkuren, Polri berperan sebagai mitra strategis pemerintah daerah dalam menjaga harmoni pembangunan. Desentralisasi membuat kebijakan publik kini banyak diambil di daerah. Namun, otonomi tanpa stabilitas justru bisa melahirkan konflik baru. Di sinilah Polri berfungsi menjaga sinergi antarlevel pemerintahan agar program pusat, provinsi, dan kabupaten/kota tetap berjalan dalam bingkai hukum dan keteraturan sosial.
Ketiga, dalam urusan pemerintahan umum, peran Polri semakin penting. Gubernur dan bupati/wali kota sebagai wakil pemerintah pusat di daerah memiliki tugas melaksanakan urusan pemerintahan umum, termasuk pencegahan konflik sosial, penguatan ketahanan masyarakat, hingga pengembangan demokrasi. Dalam tugas-tugas ini, Polri menjadi mitra utama dalam forum koordinasi pimpinan daerah (Forkopimda).
Sayangnya, peran ini kadang disalahpahami. Ketika Polri ikut mengawal proses demokrasi—misalnya pengamanan pemilu atau penanganan isu politik lokal—muncul tudingan “cawe-cawe politik”. Padahal, keterlibatan Polri dalam konteks tersebut adalah bagian dari mandat konstitusional untuk menjaga agar demokrasi berjalan damai, bukan berpihak pada kekuasaan.
Reformasi Polri dan Tantangan Desentralisasi
Reformasi 1998 bukan hanya soal perubahan kepemimpinan, tetapi juga perubahan paradigma pemerintahan. Desentralisasi adalah semangat utama reformasi, di mana daerah diberi kewenangan luas untuk mengatur dirinya sendiri.
Namun, perlu diingat, desentralisasi bukan berarti pemisahan total dari pusat. Dalam kerangka negara kesatuan, pemerintah pusat tetap memegang kendali atas urusan strategis, salah satunya keamanan nasional.
Oleh sebab itu, dalam melakukan reformasi kelembagaan, Polri harus menyesuaikan diri dengan perubahan tata kelola pemerintahan daerah. Reformasi Polri tidak cukup hanya dengan pembenahan internal melalui program Polri Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan), tetapi juga dengan memperkuat sinergi lintas tingkat pemerintahan.
Polri perlu hadir bukan sekadar sebagai aparat penegak hukum, melainkan juga sebagai mitra pembangunan dan penjaga harmoni sosial di daerah. Dalam masyarakat yang makin majemuk dan politis, kemampuan Polri untuk menjadi pengayom dan penengah menjadi semakin krusial.
Untuk itu dalam melihat institusi Polri tidak serta merta hanya berdasarkan UU Polri saja, namun harus melihat UU PEMDA terhadap peran Polri dalam mengawal sinergitas program dan stabilitas politik antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Maka dari itu Institusi Polri hendaknya tetap dibawah Presiden, namun apabila ada perbaikan tugas dan fungsi polri harus sejalan dengan UU Pemda dikarekan Output, Outcome dan dampak positif dari tugas polri dirasakan langsung oleh kepala daerah dan masyarakatnya.***
** Penulis merupakan Panglima Besar Pagar Negeri Bumi Riau
