Jakarta, (PR)
Akhir-akhir ini terjadi polemik di Republik ini, yaitu tentang revisi UU KPK yang sudah disyahkan oleh DPR. Revisi itu menimbulkan pro kontra apalagi diduga ada kesan pelemahan terhadap institusi KPK.
“Saya menilai revisi UU KPK sangat kontraproduktif dengan semangat antikorupsi yang selama ini digaungkan Pemerintah,” ujar pembina LPKAN (Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara), Wibisono SH MH pada Putera Riau di Jakarta, Sabtu (7/9/2019).
Menurutnya, terkait revisi Undang-Undang KPK, perubahan tindak pidana korupsi, setidaknya ada 11 poin revisi yang dianggap justru akan melemahkan KPK. Salah satunya adalah terkait pembatasan wewenang penyadapan. Dalam draft revisi, KPK diharuskan meminta izin pada dewan pengawas sebelum melakukan penyadapan.
Jika alasan DPR menerapkan aturan ini adalah karena tak ada lagi audit dari Kementerian Komunikasi dan Informatika terhadap penyadapan KPK, maka seharusnya revisi bukan dilakukan di UU KPK. Pasalnya, berhentinya audit oleh Kominfo itu dikarenakan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatakan bahwa penyadapan tidak boleh diletakkan dalam Undang-Undang, ulas Wibi.
Lanjutnya, timbulnya dewan pengawas KPK dalam revisi ini juga menjadi pertanyaan publik karena selama ini kinerja KPK mulai dari segi penindakan, keuangan, hingga kinerja umum sudah dilaporkan dan diawasi secara terbuka oleh lembaga-lembaga lain dan oleh publik, terang Wibi lagi.
“Munculnya dewan pengawas saya setuju, asal tidak justru membuat ruang Intervensi bagi KPK. Ada beberapa poin bermasalah ini yang dinilai tak sejalan dengan konvensi PBB yang menentang korupsi pada 2003 yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Apalagi saat ini juga berbarengan dengan pemilihan pimpinan (capim) KPK yang juga dinilai bermasalah. Ditambah juga saat ini sedang berlangsung revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini dianggap menjadi bagian yang saling berkaitan satu sama lainnya,” bebernya.
Sementara itu, juru bicara KPK, Febri Diansyah sebelumnya mengaku tak tahu ada kabar terkait rencana revisi UU KPK. Febri juga mengatakan bahwa KPK belum membutuhkan revisi Undang-undang KPK. Menurutnya, dengan UU yang sekarang, KPK bisa bekerja menangani korupsi.
Hal senada juga dilontarkan Ketua KPK Agus Rahardjo yang menyebut revisi UU KPK dapat mengancam kerja lembaga antirasuah. Agus mencatat setidaknya ada sembilan persoalan dalam naskah revisi UU KPK yang dapat melumpuhkan lembaga antirasuah itu.
Salah satu persoalan yang mengancam KPK adalah independensi lembaga. Kata Agus dalam naskah revisi itu, KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun; KPK dijadikan lembaga Pemerintah Pusat.
Selain itu, pegawai KPK dimasukkan dalam kategori Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal ini beresiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi Pemerintahan.
“Terdapat sembilan persoalan di draf RUU KPK yang berisiko melumpuhkan kerja KPK,” kata dia dalam konferensi pers di gedung KPK, Kamis lalu (5/9/2019).
Disisi lain Presiden punya sikap apologetic, misalnya tentang capim KPK, Presiden menyerahkan itu kepada pansel. Ketika muncul kasus cicak buaya yang berseri itu presiden bilang tidak punya hak untuk melakukan intervensi hukum.
Hal serupa juga diamini Research and Advocacy Manager Seknas Fitra, Badiul Hadi yang mengatakan hal tersebut terbukti dari pidato kenegaraan di Sentul, Kabupaten Bogor beberapa waktu lalu.
Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center, Arif Nur Alam mengatakan idealnya Presiden berada di depan dalam penegasan pemberantasan korupsi dan menangkal pelemahan KPK.
“Kalau kita melihat upaya melemahkan KPK, terlepas proses (penanganan terhadap upaya melemahkan KPK) yang sudah berjalan walaupun belum maksimal, kehadiran itu dibutuhkan. Kita butuh kehadiran Presiden, dia harus hadir dalam menyelesaikan permasalahan ini,” ujar Alam.
Itu pun diamini Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Kaka Suminta, namun dirinya masih belum melihat ketegasan Jokowi tersebut.
“Saya melihat postur Jokowi tidak tepat berdiri posisi sebagai Presiden. Dia agak labil, DPR juga infantil,” ujarnya.
Dalam sidang paripurna, DPR telah mengesahkan revisi UU KPK, pengesahan semua Fraksi setuju DPR menjadi pihak yang menginisiasi revisi atas undang-undang tersebut. Langkah tersebut kemudian menuai kritik dari berbagai arah, termasuk dari internal KPK. Revisi UU KPK dianggap justru dapat melemahkan kinerja lembaga antirasuah, pungkas Wibi. (beni/pr)