fbpx
Example 728x250
Breaking NewsHedalineJakartaNasionalSeputar IndonesiaSosial dan Politik

Rusdianto Samawa : Peraturan Menteri Era Susi Dicabut, Nelayan Kembali Melaut dan Sejahtera

1244
×

Rusdianto Samawa : Peraturan Menteri Era Susi Dicabut, Nelayan Kembali Melaut dan Sejahtera

Sebarkan artikel ini

Jakarta, (PR)

Produk Peraturan Menteri era Susi Pudjiastuti memang harus dicabut karena produk hukum bidang perikanan tangkap tersebut membawa duka nestapa bagi seluruh stakehokders perikanan. Baik nelayan, ABK, Industri olahan, UPI-UPI, Buruh Nelayan, Pekerja Industri, pengusaha, hingga ibu-ibu rumah tangga nelayan semua ambruk hancur.

Saat ini, KKP sedang menggarap produk hukum baru bidang perikanan tangkap sebagai bentuk pencabutan terhadap seluruh produk hukum yang bermasalah tersebut.

Para pengusaha Industri Unit Pengolahan Ikan (UPI) disektor perikanan mereka harus berjibaku mempertahankan usahanya agar tetap berlangsung aman dan selamat. Dalam situasi itupun, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak ada niat baik untuk merevisi dan/atau mencabut.

“Pembatasan ukuran kapal tangkap dan kapal pengangkut ikan hidup menjadi alat efektif untuk membangkrutkan UPI-UPI yang memiliki kapal tangkapnya eks luar negeri,” ujar Rusdianto Samawa, Ketua Front Nelayan Indonesia pada Putera Riau.

Disebutkan bahwa Pemerintah membatasi ukuran maksimal kapal tangkap sebesar 150 Gross Tonnage (GT) dan kapal angkut 200 GT dengan alasan untuk memberi kesempatan berusaha yang sama bagi nelayan kecil.

Akibat banyak Peraturan Menteri tentang pelarangan kapal asing, pelarangan alat tangkap, pelarangan kapal angkut, pembatasan ukuran Gross Ton Kapal Perikanan pada SIUP, SIPI dan SIKPI itu, pengusaha dan nelayan: besar maupun kecil tetap terbebani oleh berbagai peraturan tersebut.

Permen, Kepmen dan Surat Edaran Dirjen Perikanan Tangkap itu, tidak pandang nelayan besar dan kecil, semua bersifat menyeluruh kena semua. “Inilah kebijakan paling bodoh sepanjang rezim selama ada Kementerian Kelautan dan Perikanan,” ujarnya.

Permen, Kepmen dan Surat Edaran ini sangat berdampak pada seluruh aktivitas nelayan. Keluhan atas permen dan SE DJPT ini sejak 2015. Waktu saya ke wilayah, pekalongan Jawa Tengah dan Probolinggo Jawa Timur saja, nelayan dan pengusaha perikanan mengeluhkan ukuran kapal angkut sebesar 200 GT yang terlalu kecil, sedangkan tangkapan nelayan banyak. Dengan ukuran kapal yang kecil berpengaruh pada pengiriman yang jumlahnya terbatas, ongkos distribusi pun jadi lebih tinggi.

Mestinya, KKP mengerti akan hal ini, seharusnya menambah kapasitas kapal angkut menjadi 1.000 – 1500 GT. Sebab, nelayan dan pengusaha ingin ongkos angkut dari daerah timur ke barat Indonesia lebih efisien dengan penghantaran sekali jalan.

Kajian lainnya, sekarang merevisi seluruh Permen, Kepmen dan Surat Edaran yang bertentangan dengan semangat pembangunan sektor Kelautan dan Perikanan. Kedepan nelayan dan pengusaha bisa bebas apabila semua Peraturan tersebut dicabut.

Ada masalah lain lagi yang harus dipahami oleh Menteri KKP Edhy Prabowo, yakni: Pertama, cabut semua Permen, Kepmen dan Surat Edaran tersebut. Kalau tidak dicabut, maka yang mendapat keuntungan adalah Perusahaan Gelondongan. Sementara, Unit Pengolahan Ikan (UPI) dalam negeri sendiri bangkrut. Sudah lama perusahaan gelondongan ekspor impor hasil perikanan menikmati pelarangan dan regulasi era sebelumnya.

Mengapa perusahaan Gelondongan memiliki keuntungan yang sangat besar?. Pengusaha gelondongan ini, pengusaha tidak jelas. Asal mereka memiliki perusahaan ekspor-impor, mereka sudah untung sekali. Perusahaan Gelondongan ini tidak memiliki: kapal dan nelayan yang mereka bina langsung. Perusahaan gelondongan ekspor-impor ikan tidak langsung distribusi dari hasil tangkapan nelayan, tetapi mereka dapatkan di pasar-pasar atau coldstorage.

Sementara, Unit Pengolahan Ikan (UPI) dalam negeri memiliki: Kapal dan nelayan sendiri dengan harapan bisa menyuplai bahan baku setiap hari. Tetapi, kondisi mereka prihatin karena Permen, Kepmen dan Surat Edaran yang ada sebelumnya itu merusak usahanya.

Menteri KKP Edhy Prabowo sudah mendengar dari berbagai pihak, mengapa ekspor perikanan Indonesia kalah jauh dari Thailand, Vietnam dan China. Padahal Indonesia termasuk penghasil ikan terbesar di dunia. Padahal, Thailand dan Vietnam misalnya: mereka hanya memiliki Unit Pengolahan Ikan (UPI) dan tidak memiliki: Kapal dan Nelayan. Namun, mereka paling tinggi ekspor-impornya.

Jawabannya simpel, para pengusaha UPI Thailand dan Vietnam, bahan bakunya dari Indonesia. Cara mereka dapatkan: tentu impornya melalui perusahaan gelondongan ekspor-impor dari Indonesia. Itu masalahnya. Artinya, hasil tangkapan nelayan di Indonesia tidak beredar di Unit Pengolahan Ikan (UPI) dalam negeri itu sendiri, ikan Indonesia beredar di pasar-pasar gelap perusahaan gelondongan. Hal itulah yang membuat pengusaha dan nelayan Indonesia bangkrut.

Selain itu, harapan kedepan : KKP bisa memberikan pembinaan terhadap pengusaha perikakan serta sosialisasi yang lebih jelas, guna menghindari kapalnya ditangkap dan disita oleh aparat hukum. Tentu, KKP harus gandeng Asosiasi, Front Nelayan Indonesia (FNI), Aliansi, dan Ikatan Paguyuban yang bergerak karena mereka yang dekat bersama nelayan.

Itulah sebagian besar penyebab fatal dan kebangkrutan pengusaha, nelayan dan Industri Perikanan karena peraturan pembatasan ukuran kapal angkut, semoga kedepan bisa ditambah maksimal 1000-1500 GT agar ongkos distribusi lebih murah. Dampak sosial ekonomi atas Peraturan Menteri dan Surat Edaran tersebut membuat kerugian yang sangat besar dan rusaknya susunan struktur ekonomi industri perikanan yang sudah kuat sebelumnya.

Pesan-pesan kerusakan diciptakan oleh KKP itu sendiri, seperti terdapat pada beberapa pasal-pasal dan ayat yakni: Pasal 1 ayat 1) bahwa: menghentikan sementara perizinan usaha perikanan tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. 2) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan bagi kapal perikanan yang pembangunannya dilakukan di luar negeri.

Pelarangan dan pembatasan terhadap eks Luar Negeri sebagaimana pasal 1 ayat 2 dari permen tersebut, berdampak pada matinya seluruh sektor hulu Industri Perikanan. Kalau mau fear dan objektif, banyak orang pakai produk luar negeri. Sala satu contohnya saja: perusahaan Susi Air pesawat terbang, mulai dari produk hingga pilotnya luar negeri. Bahkan, pilot Pesawat Garuda yang notabene BUMN sendiri memakai pilot luar negeri. Apa yang salah dengan produk kapal buatan luar negeri?. Pertanyaannya: adakah galangan kapal Indonesia yang memproduksi kapal berkapasitas 1000 – 1500 Gross Tonnage?. Jawabannya: “Pasti tidak ada.”

Tentu, sudah jelas spirit persaingan dengan kapal-kapal KIA (Kapal Ikan Asing) yakni agar pengusaha Indonesia bisa bersaing dengan negara lain, agar pendapatan terhadap nelayan juga bisa meningkat.

Sementara Pasal 2 bahwa Penghentian sementara perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan sebagai berikut: a) tidak dilakukan penerbitan izin baru bagi Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI); b) terhadap SIPI dan SIKPI yang telah habis masa berlakunya tidak dilakukan perpanjangan; c) bagi SIPI atau SIKPI yang masih berlaku dilakukan analisis dan evaluasi sampai dengan masa berlaku SIPI atau SIKPI berakhir; dan d) apabila berdasarkan hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada huruf c ditemukan pelanggaran, dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Mereka yang membuat aturan, mereka juga tak bisa melaksanakan peraturan tersebut. Kegagalan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) saat mengumumkan adanya 2.183 kapal penangkap ikan yang belum perpanjang izin. Itu kegagalan dari Pasal 2 permen 56 Tahun 2014 itu. Omong kosong.

Menteri Edhy Prabowo harus mengetahui bahwa: kegagalan Dirjen Tangkap KKP bisa ditunjukkan terdapat 410 unit kapal yang izinnya sudah berakhir antara 1-6 bulan, 496 unit kapal masa berlakunya berakhir 6-12 bulan, 383 unit kapal izinnya berakhir 12-24 bulan, dan 894 unit kapal izinnya telah kadaluarasa bahkan lebih dari 2 tahun.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap hanya mampu menuduh, menyalahkan dan memvonis pengusaha, nelayan dan UPI-UPI yang ada. Padahal gagal total. Apalagi, tuduhan paling kejam adalah kapal yang melaut tanpa izin dapat digolongkan sebagai pelaku Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUUF). Selain itu, praktik tersebut menimbulkan potensi kerugian negara.

Apalagi tuduhan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap itu dibumbui kedunguannya. Selalu beralasan menghitung kerugian: “jika 2.183 unit kapal perikanan tak berizin tersebut tetap melaut, maka potensi kerugian negara dari total 156.050 GT dari PNBP saja di atas Rp137 miliar. Belum termasuk perhitungan unreported total produksi, pajak perikanan, dan lainnya,” ungkap Rusdianto.

Menteri KKP Edhy Prabowo harus memahami masalahnya, karena Permen, Kepmen dan Surat Edaran itu berdampak pada peraturan lainnya. Bahkan, nelayan disanksi regulasi berlapis-lapis. Tetapi, alasan mereka selalu katakan: “pelaku usaha tidak perlu menunggu izin habis untuk mengajukan permohonan perpanjangan. Sebab, permohonan perpanjangan izin bisa diajukan 3 bulan sebelum surat izin penangkapan ikan atau surat izin kapal pengangkut ikan (SIPI/SIKPI) berakhir.” (beni/pr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *