Isue tentang radikalisme yang seakan identik dengan agama kembali mencuat pasca Presiden Jokowi melantik sosok Menteri Agama berlatar belakang militer, Jenderal (Purn) TNI Fahrul Razi. Tidak tanggung-tanggung, para tokoh NU pun bereaksi.
Begitupun tokoh sekelas Prof Din Syamsuddin pun dikabarkan merespons terpilihnya sang Menteri tersebut di Kabinet Indonesia Maju dengan tingkat “kegelisahan” yang mendalam.
Pengamat militer Wibisono mengatakan bahwa kata “radikalisme” di negeri ini memang tidak jelas definisi yang disepakati, sehingga acapkali stigma radikalisme cenderung merugikan komunitas agama tertentu yang kemudian juga berdampak pada tertekannya sebagian umat beragama karena nyaris semua hal yang disandingkan dengan radikalisme seakan-akan bersumber atau setidak-tidaknya terafirmasi dengan ajaran sebuah agama.
“Dalam konteks Indonesia, kata “radikalisme” seakan identik dengan ajaran Islam,” ujar Wibisono di Jakarta Minggu siang (3/11/2019).
Radikalisme selalu dikonotasikan dengan kata jihad. Padahal jihad dalam Islam, baik secara normatif maupun historis tidak pernah membenarkan yang namanya aksi terorisme yang pekerjaannya menakut-nakuti dan mengancam orang lain supaya takut. Dalam kata yang lain adalah sebuah kesengajaan yang kontraporduktif kala menyandingkan kata “teroris” dengan kata “jihad.”
Sedangkan bagi umat islam dan demikian fakta sejarahnya, tanpa jihad Indonesia tidak akan merdeka. Tanpa jihad umat Islam tidak akan tergerak untuk melawan penjajah. Bahkan begitu pentingnya jihad untuk mewujudkan Indonesia merdeka.
KH Hasyim Asy’ari menyeru umat Islam untuk bersatu melawan penjajahan dengan Resolusi Jihad. Kata jihad bagi umat Islam adalah seruan suci melawan kezaliman dalam konteks sejarah Indonesia adalah perlawanan terhadap penjajah.
Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sangat “berhutang” dengan istilah “jihad.” Lantas mengapa kini kata yang mengantarkan rakyat Indonesia bersatu melawan penjajahan justru terkesan diidentikkan dengan aksi radikalisme dan terorisme.
Wibisono menilai Menag Fachrul Razi melampaui kapasitasnya memunculkan kajian pelarangan cadar di instansi Pemerintah, dan dinilai ada sesuatu yang berlebihan.
“Keinginan melarang cadar hanya berdasar pada asumsi. Ada asumsi berlebihan memandang seseorang yang bercadar atau cingkrang terafiliasi dengan paham radikalisme,” kata Wibi.
Pemerintah harus menimbang kebijakan apa yang sekiranya paling tepat diterapkan bagi masyarakat di era ini. Pendekatan yang berlebihan dengan langsung menerapkan larangan penggunaan cadar dan celana cingkrang, akan dianggap represif dan berlebihan, imbuhnya.
Kebijakan ini dikhawatirkan akan memunculkan stigma lama yang sempat berkembang di masyarakat pada masa orde “Ketika negara dengan mudah menstigma orang-orang yang kritis dicap sebagai komunis. Nah, apa yang dikhawatirkan dari kebijakan semacam ini adalah berkembangnya stigma orang yang gunakan atribut keagamaan seperti burqa, cadar dengan mudah dianggap berafiliasi radikal,” ulas Wibi.
Pemerintah perlu mencari dan mengeksplorasi pendekatan-pendekatan lain. Misalnya bagaimana mendorong tokoh-tokoh agama di masyarakat bergerak sesuai dengan ilmu keagamaannya masing-masing.
“Menteri agama ajak tokoh agama di masyarakat untuk duduk bersama memikirkan bagaimana menangkap penyebaran radikalisme di masyarakat. Karena, kan mereka yang mengetahui dinamika penyebaran dan yang sehari-hari bersentuhan di masyarakat, ya ajak tokoh agama itu duduklah, Intinya jangan salah langkah, ada prinsip, ada standar dan norma yang harus dilakukan oleh Pemerintah ketika melakukan batasan,” tandasnya.
Demi tercapainya progresifitas pembangunan manusia, bangsa, dan negara, maka sudah saatnya pemerintah, perwakilan pemuka agama, militer dan kepolisian duduk bersama untuk menentukan arti “radikalisme” yang sesungguhnya. Karena sebuah istilah yang tidak jelas definisinya cenderung akan menjadi alat pihak yang lebih kuat untuk memukul pihak yang lebih lemah atau yang dianggap perlu untuk dilemahkan.
Seperti kata Wittgenstein dalam bukunya ‘Islam dan Diabolisme Intelektual’, makna suatu kata sangat ditentukan oleh penggunaan. (“Let the use of a word teach you its meaning”), bukan oleh kamus.
Wibisono menambahkan, “Orangtua yang menakut-nakuti anaknya tidak disebut ‘terrorist.’ Begitu pula sekelompok remaja yang mengancam teman sekolahnya dengan senjata tajam tidak disebut teroris. Lalu, bagaimana dengan aparat bersenjata yang mengancam warga sipil tak berdaya, atau pejabat yang menekan wartawan dengan ancaman bunuh, misalnya, apakah mereka teroris?,” tanya Wibi.
Ketika mantan Menko Polhukan Wiranto ditikam dengan pisau, pelaku langsung disebut teroris. Ketika pembantaian terhadap sesama warga negara terjadi di Wamena Papua, bahkan dengan cara-cara biadab, kata teroris seakan dipaksa menjauh dari para pelaku. Semua fakta yang begitu terbuka tersebut sudah memadai bagi publik untuk bertanya siapa yang disebut teroris, siapa yang berhak memberikan definisi dan lain sebagainya.
“Oleh karena itu, guna menghindari simpang siur makna dan penerapan kata radikalisme termasuk terorisme, perlu dialog bersama antar pemuka agama, menteri terkait, militer, dan kepolisian, termasuk para ahli di bidang hukum dan agama, jika arti di dalam kamus dinilai tidak memadai.
Semua ini penting dilakukan semata-mata demi memastikan langkah ke depan bangsa ini adalah pada tercapainya kemajuan. Jika tidak, selamanya istilah radikal ini akan merugikan satu pihak dan pada akhirnya menghambat laju progreisivitas pembangunan bangsa dan negara.
Mengapa radikalisme terus mencuat, didiskusikan, dan terus diperdebatkan di beragam ruang publik Tanah Air, satu di antaranya karena memang masing-masing memiliki definis tersendiri. Akibatnya adu argumen tidak terhindarkan, masalah radikalisme tidak teratasi, sementara waktu terus bergulir dan sebagian bangsa Indonesia masih saja berbusa-busa merasa definisinya tentang radikalisme dan terorisme sebagai yang paling benar dan lain sebagainya,” jelas Wibi.
Pemerintahan Jokowi periode kedua diminta cermat dan hati-hati dalam melontarkan pernyataan seperti ingin mengatasi paham radikalisme. Isu ini dinilai politis yang hanya untuk mengalihkan kompleksnya persoalan negara sebenarnya.
“Semakin menunjukkan seorang Menag adalah sosok yang belum utuh memahami Islam. Pandangannya masih sangat artificial. Dengan demikian potensi makin blunder jika Menag terus merangsek menjadi aktor terhadap isue radikalisme,” pungkas Wibisono. (beni/pr)