fbpx
Example 728x250
Indragiri HilirOpiniRiauSosial dan Politik

Susahnya Jadi Perempuan

1109
×

Susahnya Jadi Perempuan

Sebarkan artikel ini

Kayu Raja (puterariau)

Perempuan dan laki-laki secara biologis tentu berbeda. Tapi dalam hal sosial di era jaman wanita dan emansipasi, terlahir sebagai seorang perempuan masih memiliki tantangan yang jauh lebih sulit dibanding dengan laki-laki, apalagi sudah menikah dan punya anak. Perempuan dituntut harus bisa masak, harus pandai dandan, mengasuh anak, merawat suami, perhatian sama mertua, bahkan beberes rumah sepenuhnya dilimpahkan jadi urusan perempuan.

Sebagai perempuan sering diberikan standar ganda. Kalau kamu bekerja, kamu juga harus bisa merawat keluarga dengan baik. Kalau kamu mau sekolah tinggi, kamu juga harus punya karir bagus. Banyak yang masih denial dan tidak sadar kalau patriarki, seksis dan lain-lain masih tetap ada dan mengakar di kalangan masyarakat.

Bahkan tanpa disadari perempuan itu sendiri yang turut andil membudayakan budaya patriarki. Semisal masalah kebersihan, kalau kamar laki-laki kotor dan berserakan masih ada toleransi, “namanya juga laki-laki”. Tapi kalau kamar perempuan berserakan, kotor, tidak rapi, tidak ada tolerir dan langsung keluar kalimat, “bagaimana nanti kalau sudah menikah tapi tidak pandai beberes?”.

Contoh lain lagi seperti stereotipe perempuan yang berumur diatas 30 tahun belum menikah pasti ada omongan, “perawan tua, nggak menarik, pilih-pilih, tua, dan sebagainya. Sementara laki-laki yang sudah berumur 30 tahun belum menikah di nilai semakin matang dan semakin mapan Nah dari satu kalimat ini saja sudah tergambar bahwa wanita itu sudah terjajah dengan narasi-narasi publik.

Contoh lain lagi yang sangat krusial, meskipun perempuam sudah berkarir dia masih dituntut mengemban tugas-tugas domestik (mencuci, memasak, beberes rumah, mengurus anak) yang mestinya bisa dijadikan tugas bersama antara laki-laki dan perempuan.

Jadi saatnya mengedukasi masyarakat bahwa wanita juga bisa eksis dalam bersosial, tidak melulu hanya di rumah. Memperluas perspektif supaya menjadi laki-laki yang lebih berempati terhadap perempuan dan berlapang dada mengakui bahwa hebatnya perempuan ketika rela berkorban demi keluarga dan mengesampingkan kepentingan pribadinya. Seperti kata Rocky Gerung, “penderitaan perempuan diendapkan dalam psikologisnya”.

Hal lain juga sama krusialnya menanamkan cara pikir antara perempuan dan laki-laki bahwa laki-laki yang ingin bekerja diluar rumah/kantoran sedangkan perempuan yang tinggal di rumah atau sebaliknya perempuan yang ingin kerja kantoran dan laki-laki yang mengerjakan pekerjaan rumah itu suatu hal yang normal sehingga tidak ada lagi diskriminasi dari kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. (herniati)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *