fbpx
Example 728x250
Breaking NewsHedalineJakartaNasionalPekanbaruRiauSeputar IndonesiaSosial dan Politik

Tangani Covid-19 Dengan Opsi Darurat Sipil, Kebijakan Pemerintah Dinilai Tak Tepat

1136
×

Tangani Covid-19 Dengan Opsi Darurat Sipil, Kebijakan Pemerintah Dinilai Tak Tepat

Sebarkan artikel ini


Jakarta, (PR)

Untuk mengatasi penyebaran virus Covid-19, Pemerintah Indonesia mewacanakan akan menerapkan darurat sipil. Istilah darurat sipil ini ada dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 23 tahun 1959 tentang keadaan bahaya.

Menurut pengamat militer Wibisono, SH MH mengungkapkan bahwa Peraturan ini menerapkan tiga tingkatan keadaan bahaya dari yang terendah hingga tertinggi. Yaitu keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer, dan keadaan perang.

Lanjut Wibi, pada Pasal 1 Perppu menyebutkan tiga syarat Presiden menetapkan Indonesia dalam keadaan bahaya untuk sebagian atau seluruh wilayahnya.

Pertama, keamanan atau ketertiban hukum di seluruh atau sebagian wilayah terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa.

Kedua, timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga.

Ketiga, hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

“Dalam kondisi bahaya, Presiden sebagai pemegang kekuasan tertinggi di Pusat. Ia juga memiliki wewenang mencabut keadaan bahaya ini. Sementara, di tingkat daerah penguasaan darurat sipil dilakukan oleh Kepala daerah,” ujar Wibi pada Putera Riau, Selasa (31/03).

Selanjutnya tertulis dalam Perpu Pasal 3 yaitu “Penguasaan tertinggi dalam keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat/Penguasa Darurat Militer Pusat/Penguasa Perang Pusat.”

Penguasa darurat sipil daerah pun wajib menuruti petunjuk dan perintah yang diberikan oleh penguasa darurat sipil pusat (Pasal 7 Ayat (1)). Penguasa pusat pun bisa mencabut sebagian kekuasaan penguasa darurat sipil daerah (Pasal 7 Ayat (5)).

Selain itu, penguasa darurat sipil berhak menyuruh Polisi menggeledah tiap tempat dengan surat perintah istimewa (Pasal 14), memeriksa dan menyita barang (Pasal 15), membatasi komunikasi, berita dan informasi (Pasal 17), rapat umum (pasal 18), dan membatasi orang berada di luar rumah (Pasal 19).

“Saya berharap pemerintah tidak menggunakan darurat sipil ini. Sebaiknya, penerapan darurat sipil adalah langkah terakhir hadapi virus covid-19 ini,” imbuhnya.

“Kita sekarang tidak mengalami perang militer atau perang menghadapi pemberontak, tapi perang menghapi bencana non alam, cara mengatasinya pun tidak bisa menggunakan Perpu darurat sipil atau militer, rakyat kita akan semakin menderita dan yang saya takutkan akan terjadi kerusuhan atau penjarahan seperti peristiwa tahun ’98,” ulasnya.

Perlu diketahui, di era otonomi daerah kekuasaan tak lagi tersentralisasi di tangan Presiden seperti era Orde Baru. Kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat yang memiliki otonomi atas wilayahnya dan tak bisa diberhentikan oleh Pusat.

Sementara, di sisi kewenangan dan syarat penggeledahan dan penyitaan sudah diatur ketat dalam KUHP dan KUHAP. Selain itu, kebebasan penyiaran informasi sudah diatur, diantaranya dalam UU Pers.

Pembina LPKAN ini mengusulkan dan meminta Jokowi tetap mengacu kepada UU No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana dan UU Nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan dan tak mengenakan darurat sipil.

“Pemerintah harus berhati-hati dalam menggunakan dasar hukum yang digunakan untuk meminimalisir bias tafsir dan penggunaan kewenangan yang lebih tepat sasaran,” pungkas Wibi. (beni/pr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *