Jakarta, (PR)
Penolakan revisi UU KPK semakin gencar dilakukan oleh semua kalangan. Salah satunya oleh anggota wadah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kembali menggelar penolakan atas revisi Undang-undang KPK yang dinilai dapat melemahkan KPK.
Mereka mengenakan pakaian hitam-hitam sebagai bentuk protes atas revisi undang-undang yang diusulkan oleh DPR. Sebagian lagi membawa karangan bunga dan poster bertuliskan tuntutan agar Presiden Jokowi menolak revisi itu.
Menurut pembina LPKAN (Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara), Wibisono SH MH mengatakan bahwa revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pembentukan dewan pengawas dan ijin penyadapan akan memicu konflik kepentingan dan pola atau sistem untuk pelemahan KPK.
“Ada pihak-pihak yang ketakutan dengan independensi KPK yang telah melakukan upaya pemberantasan korupsi,” kata Wibi pada Putera Riau, Senin (09/09).
KPK dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, bila memiliki independensi dalam hal menjalankan apa yang menjadi kewenangannya. Namun dengan adanya dewan pengawas eksternal justru akan menghambat tugas dan fungsi KPK, imbuhnya.
Dalam hal ini bisa saja pihak yang akan ditangkap oleh KPK, ternyata memiliki hubungan relasi dengan dewan pengawas. Kondisi tersebut dapat menjadi kendala untuk mendapatkan ijin penyadapan, dan otomatis akan menghambat upaya operasi tangkap tangan (OTT) yang akan dilakukan oleh KPK.
“Dalam rencana revisi UU KPK, ada keinginan pembentuk UU untuk membentuk dewan pengawas eksternal yang seleksinya akan dilakukan oleh Presiden bersama dengan DPR. Padahal selama ini sudah ada dewan pengawas internal KPK,” papar Wibi.
Perkembangan terakhir, setelah petisi menolak revisi UU KPK digalang dosen Universitas Gajah Mada (UGM), giliran puluhan akademisi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya melakukan penolakan serupa.
Mereka menolak upaya pelemahan KPK seiring dengan perkembangan politik terakhir yang diduga ada upaya secara sistematis untuk melemahkan lembaga antirasuah itu dalam bentuk rancangan undang-undang (RUU) KPK, yang termasuk di dalamnya RUU KUHP.
“Hal itu menunjukkan kemunduran upaya pemberantasan korupsi yang seharusnya menjadi semangat kita bersama, sekaligus sebagai anak kandung reformasi,” kata akademisi Unair Dr Herlambang P. Wiratraman (8/9/2019)
Wibi menambahkan seakan tidak cukup dari sisi legislasi, darurat antikorupsi tergambar dengan seleksi calon pimpinan KPK yang diduga syarat konflik kepentingan serta gagalnya pengungkapan kasus penyerangan dan intimidasi terhadap para penyidik KPK, termasuk impunitas kasus Novel Baswedan.
“Yang terbaru pelemahan dari sektor legislasi yang jelas bertentangan dengan amanah reformasi dan tujuan bernegara sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar Negara RI 1945, yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menuju kesejahteraan sosial,” tandasnya.
Pemimpin bangsa ini harus belajar dari kekeliruan masa lalu untuk tidak mementingkan sekelompok orang dan mengorbankan kepentingan masyarakat yang seharusnya menjadi prioritas.
“Pemimpin negara harus lebih peka, peduli, dan menjunjung tinggi integritas untuk menjadi suri tauladan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara,” pungkas Wibi.
Sementara itu pengamat hukum dan ideologi, Markoni Effendi SH menyayangkan adanya upaya pelemahan KPK.
“Kalau sempat terjadi revisi UU KPK di era Jokowi ini, jelas ini adalah langkah mundur dalam penanganan korupsi karena KPK kian dilemahkan posisinya. Hal tersebut tentu sudah tidak sesuai dengan rencana awal terbentuknya KPK,” ungkap Markoni yang berasal dari Indragiri Hilir Riau ini.
Publik dan rakyat tentunya akan mencatat dalam sejarah bahwa rezim ini tidak pro pemberantasan korupsi dengan melakukan revisi UU KPK yang intinya adalah melemahkan sebuah lembaga anti korupsi. (beni/pr)