fbpx
Example 728x250
Breaking NewsHedalineNasional

Wibisono : Harusnya Yang Dipindah Bukan Ibukota, tapi Pusat Pemerintahannya

866
×

Wibisono : Harusnya Yang Dipindah Bukan Ibukota, tapi Pusat Pemerintahannya

Sebarkan artikel ini

Jakarta, (PR)

Rencana pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur masih menimbulkan polemik. Secara garis besar, kontroversi seputar rencana relokasi ibukota tidak hanya menyangkut dua persoalan pokok yakni biaya dan ketersediaan anggaran, tapi ada persoalan sosial-ekologi-pertahanan- keamanan.

Kemudian, hal yang tidak kalah penting adalah tentang Regulasi-Undang Undang (UU) yang mengatur pemindahan ibukota. “ini butuh proses yang lama,” ujar pengamat militer dan infrastruktur Wibisono SH MH menyatakan pada Putera Riau pada Kamis (29/8/2019).

Sementara itu sebagian wakil rakyat merasa khawatir terkait regulasi atau Undang-Undang (UU) Pemindahan ibukota Negara dari DKI Jakarta ke sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupatan Kutai Kartanegara (Kukar) Kalimantan Timur (Kaltim). Mereka tidak ingin UU yang nantinya melegalkan itu digugat masyarakat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Karena itu, perlu kajian mendalam terkait rencana pemindahan ibukota tersebut, khususnya untuk anggaran. Seharusnya biaya bisa dihemat kalau yang dipindah hanya hanya pemerintahannya saja, itupun tidak semua kementerian yang pindah, yang tidak harus pindah adalah Kementrian vital yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menko Polhukam, Mabes TNI (AL-AD-AD), Mabes Polri, dan Menpan ARB.

“Yang perlu dikritisi dari kajian tiga tahun Pemerintah soal pindah ibukota itu adalah anggaran. Itu pasti akan lebih dari Rp.466 triliun (seperti dianggarkan Pemerintah, Red). Karena, untuk Mabes Polri saja dibutuhkan Rp.147 triliun,” imbuhnya .

Pemerintah soal perlunya memastikan terkait batas waktu pemindahan ibukota tersebut. Apakah untuk lima tahun atau 10 tahun mendatang, Ini yang harus ditargetkan. “Jangan sampai UU itu nantinya digugat masyarakat ke MK, sehingga berlarut larut,” kata Wibi.

Sebab, dia membandingkan untuk pembentukan atau penggabungan daerah saja membutuhkan proses yang cukup lama, apalagi untuk memindahkan ibukota. Sehingga pembahasan rancangan UU (RUU)-nya tidak bisa dipaksakan atau buru-buru. “DPR tak bisa dipaksakan untuk menyelesaikan pembahasan RUU itu, karena perlu kajian serius dan mendalam,” tandasnya.

Pemindahan ibukota, hal yang sama sudah dilakukan Australia, Amerika Serikat (AS), Malaysia, Thailand, Jepang, Brasil, dan negara lainnya. Dengan demikian, Kemenkeu RI sesuai dengan UU No 17/2003 tentang pengelolaan keuangan negara dan DPR harus mendukung rencana tersebut.

“Jadi, DPR harus segera membahas UU-nya sebagai dasar hukum pemindahan ibu kota itu. Sebab, tanpa UU pemindahan itu tak bisa dilakukan,” pungkasnya.

Menurut pengamat hukum dan ideologi, Markoni Effendi SH mengatakan bahwa jika untuk pemerataan, syah-syah saja dilakukan pemindahan ibukota. Namun, tentunya melalui kajian yang matang dan sangat mendasar.

Disebutkan bahwa pemindahan ibukota akan berdampak lebih besar, yakni merubah sejarah. Ketika Bung Karno memindahkan ibukota dari Jakarta ke Jogja, karena situasi saat itu ada agresi militer. “Nah, hal mendasar pemindahan ibukota saat ini karena apa ? Tentu menjadi kajian yang mendalam,” ujar Markoni yang berasal dari Indragiri Hilir Riau ini.

Untuk kepentingan keadilan dan pemerataan pembangunan, masih bisa diamini oleh rakyat, namun jika ada kepentingan pihak tertentu ataupun kepentingan politis, tentu sangat menjadi perhatian. Markoni menyebutkan bahwa butuh kajian yang sangat mendalam terkait pemindahan ibukota negara ini agar tidak menjadi konflik kedepan. (beni/pr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *