Jakarta, (PR)
Dalam hal menyoroti hasil rekomendasi Kongres V PDI Perjuangan yang salah satu poinnya adalah menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai landasan bernegara hingga menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. “Wacana menghadirkan kembali GBHN masih menyisakan banyak pertanyaan,” ujar pengamat militer Wibisono di Jakarta, Senin (26/8/2019).
Menurut Wibi, harus ada kejelasan ihwal implementasi GBHN yang komprehensif terhadap amandemen UUD 45.
“Trus apakah kehadiran GBHN nantinya akan mengharuskan Presiden memberikan laporan pertanggungjawaban di sidang MPR atau tidak,” tanya Wibi.
Ini dikarenakan posisi Presiden yang dipilih langsung rakyat mengartikan dirinya juga memiliki tanggung jawab kepada rakyat, inilah yang perlu dikaji lebih dalam untuk mengamandemen UUD 45 terutama dalam hal untuk menghidupkan kembali GBHN.
Tapi Kalau memang tidak harus melaporkan ke MPR, harus juga dipikirkan sebuah mekanisme yang bisa mempertontonkan hasil capaian pemerintahan terhadap GBHN. “Agar GBHN yang ditetapkan tidak mubazir,” ulasnya.
Selanjutnya Apakah GBHN dihadirkan apa akan bertabrakan dengan program Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ? “Sebenarnya tidak. Ini hanya haluan negara dan pedoman pelaksanaan itu sejalan dengan cita-cita negara Indonesia agar program pembangunan terarah dan berkesimbungan sebagaimana seperti tertuang di dalam UUD 1945, tidak berubah setiap ada pergantian Presiden,” terangnya.
Meski begitu, ia tidak menampik jika sebagian orang melihat GBHN akan memperkuat kewenangan posisi MPR dari sisi politik. Tetapi, yang perlu digaris bawahi adalah GBHN itu memiliki peran strategis dalam pelaksanaan pembangunan agar sejalan dan berbanding lurus dengan cita-cita Negara Indonesia.
“Dengan ditetapkannya GBHN, banyak yang khawatir bahwa ini akan dikembalikan ke zaman ‘orde baru’ yang sentralistik. Saya pikir ini tidak, ini hanya membuat Garis Haluan Negara sebagai suatu pedoman agar pembangunan itu tidak melenceng dari tujuan pembangunan nasional sebagaimana yang dicita-citakan,” kata Wibi yang juga sebagai pembina LPKAN (Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara).
Saat ini pemerintah masih belum memiliki arah yang jelas mengenai target kesejahteraan masyarakat dapat dicapai secara merata karena adanya perbedaan antara satu kepemimpinan dengan kepemimpinan yang lain. Terdapat beberapa masalah yang mengakibatkan perlu dihidupkannya kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
“Permasalahan pertama adalah pada saat ini Indonesia tidak memiliki perencanaan pembangunan nasional secara menyeluruh yang meliputi kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial serta pemerintah daerah,” katanya.
Permasalahan kedua adalah adanya pembangunan nasional selama ini dilakukan secara tidak berkelanjutan, dikarenakan pembuatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sangat dimungkinkan berbeda dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) atau RPJMN sebelumnya.
Selain itu adanya perbedaan warna warni politik antara Kepala Pemerintahan, Kepala daerah Provinsi, dan Kepala daerah Kabupaten/kota yang menjadikan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan sering tidak sinkron dengan Pemerintah pusat.
Mengembalikan kembali GBHN tidak boleh memposisikan MPR sebagai lembaga tertinggi, karena konstitusi telah menetapkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yaitu supremasi konstitusi yang berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen, ujar Wibi.
GBHN tidak mengubah beberapa karakter sistem presidensial seperti presiden tetap dipilih rakyat, Presiden tidak sebagai mandataris MPR, dan presiden tidak dapat diberhentikan (impeachment) akibat tidak dijalankannya GBHN secara baik, tandas Wibi.
Selanjutnya, Wibi menyebutkan bahwa GBHN harus berisikan perencanaan pembangunan nasional secara garis besar (blue Print) tidak secara teknis. Dan harus diperhatikan adalah penyusunan perencanaan pembangunan nasional harus didasarkan pada tuntutan dan kebutuhan masyarakat, serta tidak boleh ada sanksi hukum dalam pelaksanaan haluan pembangunan nasional.
“Saya mengusulkan perlu adanya mekanisme laporan kinerja, bukan laporan pertanggungjawaban dari lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945, termasuk kinerja MPR sendiri. Dan jangan sampai munculnya GBHN bertentangan sistem presidensial, tujuannya adalah untuk transpransi kepada rakyat sebagai amanat reformasi,” pungkas Wibisono. (beni/pr)