Jakarta, (PR)
Saat ini ekonomi global telah mengalami perlambatan dan kemungkinan terjadinya resesi akan semakin besar. Oleh karena itu, Presiden Jokowi meminta jajaran Menterinya membuat langkah-langkah antisipasif dalam menghadapi krisis ekonomi.
Direktur Bank Dunia untuk Indonesia, Senin (2/9/2019) Rodrigo A. Chaves, menemui Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, ia mengingatkan pemerintah tentang pelemahan ekonomi global.
Menurut pengamat infrastruktur nasional, Wibisono SH MH pada Putera Riau pada Rabu (4/9/2019) mengatakan bahwa resiko resesi pada ekonomi global makin meningkat. Ada juga beberapa poin yang perlu diwaspadai pada situasi geopolitik saat ini. Indonesia perlu terus memonitor dan menyiapkan langkah strategis untuk menghadapinya.
Chaves merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia terus memperbaiki defisit neraca berjalan dengan penanaman modal asing (foreign direct investment/FDI). “Cara itu paling baik untuk menambah modal juga memperbaiki aliran portofolio,” tuturnya.
Menurut dia, Pemerintah Indonesia perlu memberikan kepastian hukum terhadap investor asing. “Aturan mainnya harus jelas, stabil,” ujar Chaves.
Saat ini sebenarnya Indonesia memiliki basis yang kuat terutama terkait manajemen makro, tetapi rentan terhadap krisis, reformasi struktural pada sumber daya manusia, infrastruktur, investasi, FDI, pemungutan pajak, diyakini bakal memberikan kontribusi tinggi dalam mempertahankan kondisi keuangan, kata Wibi.
*Krisis Ekonomi Global terhadap Indonesia*
Mengutip opini berjudul The Makings of a 2020 Recession and Financial Crisis di laman www.project-syndicate.org, Nouriel Roubini dan Brunello Rosa mengungkapkan alasan terjadinya krisis tahun 2020 nanti.
Krisis ini bisa terjadi menyusul ekspansi global yang masih berlanjut hingga tahun depan. AS masih memiliki defisit fiskal besar. China masih memegang kebijakan fiskal longgar dan Eropa masih berada dalam masa pemulihan setelah krisis.
Lanjut Wibi, hambatan fiskal AS kebijakan stimulus fiskal yang saat ini mendorong pertumbuhan ekonomi tahunan Amerika Serikat (AS) di atas 2% kemungkinan tidak akan berlanjut. Pada tahun 2020, stimulus akan berakhir, dan hambatan fiskal akan menurunkan pertumbuhan dari 3% menjadi sedikit di bawah 2%.
Overheating karena waktu penarikan stimulus tidak tepat, ekonomi US saat ini sudah terlalu panas dan inflasi melaju di atas target. Bank sentral AS Federal Reserve akan terus menaikkan suku bunga Fed Fund Rate dari saat ini 2% menjadi setidaknya 3,5% pada tahun 2020. Suku bunga ini akan mendorong yield utang jangka pendek dan jangka panjang serta nilai tukar dollar AS.
Sementara, inflasi juga terus meningkat di negara-negara dengan ekonomi besar lainnya. Kenaikan harga minyak akan menambah tekanan inflasi.
Perang dagang pemerintahan Donald Trump (AS) dengan China, Eropa, Meksiko, Kanada dan negara-negara lain hampir pasti akan makin panas. Hal ini menimbulkan perlambatan pertumbuhan dan inflasi yang lebih tinggi.
Obligasi negara AS makin mahal meski imbal hasilnya minimal, surat utang dengan imbal hasil tinggi juga menjadi semakin mahal karena tingkat rasio utang perusahaan-perusahaan mencapai level tertinggi.
Terlebih lagi, rasio utang di berbagai negara emerging market dan negara lebih maju pun makin tinggi. Properti komersial dan residensial mahal di sebagian besar dunia. Koreksi di pasar saham emerging market, pasar komoditas, dan surat utang akan berlanjut hingga badai krisis global muncul.
Seiring dengan langkah investor untuk mengantisipasi perlambatan pertumbuhan pada 2020, ulas Wibi.
Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengkawatirkan pada 2020 terjadi resesi atau kemerosotan ekonomi di banyak negara termasuk Indonesia karena dinamika global yang sampai saat ini masih berlangsung.
Menurutnya dinamika yang terjadi saat ini membuat pertumbuhan ekonomi diproyeksi menurun, bahkan pertumbuhan perdagangan juga akan menurun seiring perang dagang antara China dengan Amerika Serikat (AS) tak kunjung usai.
“Seluruh indikator menunjukkan bahwa apabila tren ini berlanjut, maka 2020 dikhawatirkan akan terjadi resesi, terutama di negara-negara maju,” kata Sri Mulyani.
Wibisono menambahkan bahwa kebijakan fiskal masing-masing negara di dunia, khususnya yang telah mengalami perlambatan ekonomi seperti Brazil, Argentina, Jerman, dan negara Eropa lainnya. Sehingga dari sisi kebijakan, baik fiskal maupun moneter diperkirakan akan lebih supportif dan ini diharapkan bisa menetralisir potensi terjadinya perlambatan atau pelemahan ekonomi yang berlanjut atau resesi, bagi Indonesia harus berhati-hati terutama dalam mengelola hutang yang sangat besar, penggunaan anggaran harus lebih selektif dan efisien, pungkas Wibisono.
*Riau Perlu Mewaspadai Ancaman Resesi*
Sementara itu pengamat ekonomi dan Pemerintahan di Riau, Beni Yussandra SE mengingatkan akan potensi ancaman resesi ekonomi pada daerah, khususnya di Propinsi Riau.
Jika Pemerintah lambat membuat kebijakan dalam mengantisipasi perkembangan ekonomi dunia, tentu berdampak besar pada kondisi dalam negeri. Dimana industri kecil masyarakat akan kian tertinggal dari negara-negara Asia lainnya.
Hal ini dikatakannya mengutip data angka perekonomian Indonesia di semester pertama 2019 yang tidak terlalu menggembirakan. Target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen belum mampu tercapai dalam dua kartal terakhir.
Yang terkini, BI mencatat posisi defisit transaksi berjalan atau ‘current account defisit’ (CAD) pada kuartal II-2019 nilainya US$8,4 miliar. Artinya defisit itu menerobos angka 3 persen dari PDB. Angka ini menyentuh batas tinggi CAD yang diproyeksikan Pemerintah di level 2,5-3 persen dari PDB 2019.
Untuk Riau sendiri, ancaman krisis ekonomi bukanlah sebuah hal yang tidak mungkin terjadi. Karena selama ini, daerah ini selalu menjadi imbas krisis secara terbuka. “Pemerintah harus benar-benar memperhatikan kekhawatiran berbagai pihak atas isu ini. Karena nantinya yang akan terkena dampak besar adalah kalangan petani, buruh dan masyarakat lainnya,” ujarnya. (fadil/pr)