Jakarta, (PR)
Persoalan impor pangan masih jadi momok Pemerintahan Presiden Jokowi. Salah satu yang cukup menyentil adalah masih adanya aktivitas impor produk singkong, khususnya pati atau tepung singkong dari negara lain.
Menurut pengamat pangan Wibisono SH MH pada Putera Riau di Jakarta, Minggu (15/9/2019) mengatakan bahwa Indonesia termasuk negara produsen singkong. Tanaman umbian ini sangat mudah ditanam. Namun, lagi-lagi persoalan nilai tambah atau proses olahan, Indonesia masih punya pekerjaan rumah (PR) untuk membuat produk olahan seperti tepung atau sampai produk hilir.
“Tidak hanya singkong, saya akan bahas impor pangan yang lain, seperti beras, gandum, cabe, ayam, sapi, garam, kedelai, ikan asin dan sebagainya,” terang Wibi.
*Impor Singkong*
Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun masih terjadi gelontoran impor pati singkong ke Indonesia. Pada periode Januari-Juni 2019 saja sudah ada 0,21 juta ton atau setara US$ 93,44 juta atau Rp1,3 triliun. Potensi impor pati singkong tahun ini bakal lebih besar, karena tahun lalu saja hanya 0,38 juta ton senilai US$ 185,6 juta.
Impor pati singkong selama periode lima tahun terakhir terjadi pada 2015, saat itu ada gelontoran impor senilai US$ 256 juta setara Rp3,5 triliun dengan volume 0,60 juta ton. Namun, impor terbanyak secara volume terjadi pada 2016, yang mencapai 0,63 juta ton, senilai US$ 226,64 juta.
*Impor Gandum*
Import gandum pada tahun ini diperkirakan makin melonjak, berbanding lurus dengan tingginya permintaan tepung terigu di dalam negeri. Padahal, harga gandum dunia tengah melambung.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Tepung Terigu Indonesia (Aptindo), Franciscus Welirang mengatakan bahwa pada tahun ini kebutuhan impor gandum diperkirakan tumbuh 5% dari realisasi impor pada tahun lalu sebanyak 10,09 juta ton.
“Untuk saat ini, proyeksi persisnya saya belum bisa pastikan karena ada kendala dari harga gandum global yang tinggi. Namun, kalau melihat tren dan kondisi di dalam negeri, perkiraan impor gandum tahun ini tumbuh sekitar 5%. Sebab, permintaan tepung terigu nasional kami perkirakan juga tumbuh sekitar 5%—6%,” jelasnya.
Dia melanjutkan, meningkatnya konsumsi masyarakat dan adanya momentum pemilihan umum legislatif dan presiden bakal menjadi pendongkrak kebutuhan tepung terigu, terutama untuk bahan baku makanan.
Franciscus menambahkan, selama ini 90% impor gandum masih diserap oleh industri tepung terigu. Sementara itu, sisanya diserap oleh industri pakan hewan sebagai bahan baku campuran.
*Impor Daging Sapi*
PT Berdikari (Persero) salah satu yang di tunjuk Pemerintah untuk import daging sapi, impor daging sapi dari Brasil akan masuk ke Indonesia pada pekan pertama Oktober 2019. Manajemen mengklaim sudah mendapatkan surat penugasan langsung dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengimpor.
Direktur Utama Berdikari, Eko Taufik Wibowo menyebut saat ini pihaknya sedang melakukan proses pengadaan daging sapi tersebut. Beberapa hal yang dilakukan, misalnya negosiasi harga, persiapan volume pasokan, dan penentuan jadwal pengiriman.
“Tim masih di Brasil dan sementara info terbarunya (daging sapi) diharapkan sudah masuk Indonesia sekitar pekan pertama Oktober 2019,” ungkap nya
Eko mengatakan manajemen masih butuh waktu setidaknya sekitar satu bulan sebelum bisa mengirim sapi dari Brasil ke Indonesia. Sebab, setelah menerima surat penugasan langsung dari Kementerian BUMN, perusahaan harus melakukan kesepakatan harga terlebih dahulu dengan pemasok di Brasil.
Berdikari merupakan salah satu perusahaan pelat merah yang mendapat izin dari pemerintah untuk mengimpor daging sapi dari Brasil sebanyak 10 ribu ton. Selain Berdikari, terdapat PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang juga mendapatkan kuota impor sebanyak 10 ribu ton dan Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) sebanyak 30 ribu ton.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menuturkan izin impor daging sapi diputuskan dalam rapat kordinasi terbatas (rakortas) di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada bulan lalu.
Ia menampik impor dilakukan lantaran Indonesia kalah melawan gugatan Brasil di World Trade Organization (WTO).
Sekadar informasi, Brasil sempat menggugat Indonesia lantaran dianggap mempersulit ekspor ayamnya ke Indonesia melalui peraturan yang tidak tertulis sejak 2009. Walhasil, Indonesia harus mengubah beberapa ketentuan impor sesuai permintaan badan perdagangan dunia tersebut, kata Wibi.
*Impor Kedelai*
Import kedelai berpeluang mencapai 2,7 juta ton pada tahun ini, atau naik dari realisasi 2018 sebesar 2,5 juta ton.
“Sejalan dengan pertumbuhan penduduk Indonesia dan pesatnya pertumbuhan industri pengolahan kedelai selain tahu dan tempe impor komoditas tersebut akan mengalami kenaikan,” ujar Wibi.
Dia mengatakan, sejauh ini porsi permintaan kedelai oleh industri dalam negeri masih didominasi oleh pabrik tahu dan tempe.
Namun, dia melihat permintaan oleh industri minuman berbahan kedelai seperti susu dan pakan ternak turut mengalami peningkatan yang signifikan yakni 3% secara tahunan.
Hal itu tampak dari kenaikan impor kedelai pada semester I/2019 dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.
Adapun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari—Juni 2019 volume impor kedelai mencapai 1,3 juta ton, sedangkan nilainya mencapai US$522,89 juta.
Capaian tersebut naik dari semester I/2018 yang volumenya impornya 1,1 juta ton dan nilainya sebesar US$507, 66 juta.
*Impor Gula Mentah*
Kementrian Perdagangan telah menerbitkan Persetujuan Impor (PI) gula kristal mentah (raw sugar) untuk diolah menjadi gula kristal rafinasi (GKR) sebanyak 1,55 juta ton sepanjang semester I tahun ini.
Izin tersebut diberikan kepada 12 perusahaan gula rafinasi di bawah Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI). Seperti diketahui, gula rafinasi digunakan sebagai bahan baku industri makanan dan minuman (mamin) dan farmasi. Tata niaganya diatur tak boleh dijual bebas di pasar umum, karena hanya untuk kebutuhan industri, bukan rumah tangga.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Oke Nurwan mengatakan, pihaknya kini tengah menyiapkan penerbitan izin impor dari sisa alokasi yang ada untuk semester II tahun ini, yakni sekitar 1,25 juta ton.
Sebagai informasi, alokasi impor gula yang diberikan pemerintah tahun ini hanya sebesar 2,8 juta ton dari total kebutuhan industri domestik yang mencapai 3,7 juta ton. Sisanya masih mampu dipasok dari perusahaan gula dalam negeri serta sisa stok dari tahun lalu.
*Impor Daging Ayam*
Asosiasi Rumah Potong Hewan Unggas Indonesia (Arphuin) mengaku menolak keras impor daging ayam Brasil. Pasalnya, impor berpotensi menghancurkan peternakan unggas rakyat
Seperti diketahui, aksi impor itu merupakan konsekuensi yang harus ditanggung Indonesia lantaran kalah menghadapi gugatan Brasil ke World Trade Organization (WTO) terkait ekspor daging ayam.
Kepala Bidang Hukum dan Humas Arphuin Cecep M Wahyudin menyatakan para pelaku perunggasan khawatir terhadap situasi tersebut. “Arphuin menolak keras impor daging ayam Brazil,” katanya
Sekadar mengingatkan, kekalahan Indonesia atas Brasil itu bermula dari gugatan Brasil yang didaftarkan ke WTO pada 2014 lalu. Di dalam gugatan itu, Brasil mengeluhkan penerapan aturan tak tertulis yang dilakukan Indonesia.
Aturan tak tertulis itu dianggap menghambat ekspor ayam Brasil ke RI sejak 2009 silam. Tiga tahun berikutnya, Indonesia diputuskan bersalah karena tidak mematuhi empat ketentuan WTO.
Sebagai konsekuensi, Indonesia harus mengubah ketentuan impornya. Pemerintah pun mengakomodasi dengan mengubah dua aturan.
Kedua aturan antara lain, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 65 Tahun 2018 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan produk Hewan, serta Peraturan Menteri Pertanian Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, dan Olahannya ke Dalam Wilayah NKRI.
Kendati begitu, Brasil tetap tidak puas dengan perlakuan Indonesia. Pada Juni lalu, Brasil mengatakan Indonesia masih menghalang-halangi ekspor ayamnya ke Indonesia dengan menunda sertifikasi kebersihan dan produk halal.
Indonesia telah swasembada dalam produksi karkas ayam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) potensi produksi karkas ayam pada 2018 sebesar 3,38 juta ton, sementara proyeksi kebutuhannya hanya 3,05 juta ton.
*Impor cabai Merah*
Berdasarkan Data BPS, impor cabai per April 2017 sebanyak 98,8 ton dengan nilai US$ 155,6 ribu, impor ini meningkat jika dibandingkan dengan impor Maret 2017 yang hanya sebanyak 73,5 ton dengan nilai US$ 96,2 ribu.
Direktur Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, impor cabai yang dilakukan pemerintah pada umumnya cabai merah, termasuk juga cabai rawit merah.
*Impor Bawang Putih*
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor Indonesia pada Mei 2018 mencapai 14,53 miliar dolar AS. Dari angka tersebut, komoditi paling banyak diimpor adalah bawang putih.
Adapun total impor bawang putih pada Mei 2019 sebanyak 69.507 ton atau senilai 76,4 juta dolar AS. Angka tersebut meningkat 57,5 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2018.
Kepala BPS, Suhariyanto mengatakan bahwa naiknya impor bawang putih karena adanya kebijakan untuk memutuskan impor komoditas tersebut.
Adapun impor bawang putih pada Mei 2019 seluruhnya berasal dari China. Jika dirinci lebih lanjut, impor bawang putih dari China meningkat 57,5 persen dibandingkan bulan Mei tahun lalu senilai 44,1 juta dolar AS.
Sementara, secara kumulatif dari Januari-Mei 2019, impor bawang putih turun 38,7 persen dari 126,2 juta dolar AS menjadi 77,3 juta dolar AS.
Import bawang putih turut mendorong peningkatan impor barang konsumsi. Berdasarkan data BPS impor barang pada Mei 2019 sebesar 1,54 miliar dolar AS atau naik 5,62 persen.
*Impor Garam*
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat total realisasi impor garam yang sudah masuk ke Indonesia pada semester I tahun 2019 sudah mencapai 1,2 juta ton. Jumlah tersebut setara dengan 40 persen dari total kuota impor garam pada tahun ini, yakni sebanyak 2,7 juta ton.
“Realisasi [impor garam] semester I [2019] itu 1,2 juta ton. Kalau itu baru 40 persen [dari total kuota impor garam 2019, sebanyak 2,7 juta ton],” kata Direktur Industri Kimia Hulu, Kemenperin, Fridy Juwono di Gedung Kemenko Maritim pada Jumat (12/7/2019).
Fridy memperkirakan, pada semester II 2019, impor garam bisa meningkat menjadi 2,2 hingga 2,3 juta ton menyusul adanya kebutuhan industri, seperti pemutihan kertas.
Saat ini, produksi garam Indonesia di kisaran 2,7 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, sekitar 360 ribu ton diproduksi oleh PT Garam. Sisanya adalah produksi petani garam rakyat.
Namun, kebutuhan garam dalam negeri ternyata mencapai 4,7 juta ton pada tahun 2019. Jumlah ini pun diperkirakan terus bertambah seiring adanya peningkatan permintaan industri dan masyarakat. Pada 2018 saja, industri mendominasi serapan garam petani hingga lebih dari 2 juta ton.
*Impor Ikan Asin*
Ikan asin dari dulu juga impor, tapi kan kecil sekali angkanya, kata Mentri Kelautan Susi Pudjiastuti
Lalu, Sekjen sekaligus Plt Dirjen PDSPKP KKP Nilanto Perbowo juga mengatakan hal yang sama.
“Impor ikan asin yang pertama, dry fish itu dilakukan di 2017-2018, jumlahnya cukup kecil ada 200-300 ton,” kata Nilanto yang turut hadir dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR tersebut.
Nilanto mengatakan, ikan asin yang diimpor tersebut tak dijual di pasar dalam negeri. Melainkan untuk diproduksi dan di ekspor kembali.
“Ikan asin itu diimpor untuk diproses dalam negeri kemudian di re-ekspor dalam bentuk ikan kaleng,” imbuh dia.
Kesimpulan dari data data diatas menunjukkan bahwa sejak era Orde Baru, impor beras, dan bahan pangan yang lain paling tinggi terjadi di masa pemerintahan Presiden Jokowi dengan rata-rata 1,174 juta ton/tahun (untuk beras), kata Wibi.
Data tersebut tidak memperhitungkan krisis ekonomi di masa pemerintahan Presiden Habibie di mana impor beras diklaim mencapai 2,942 juta ton/ tahun.
“Kesimpulan, di luar masa krisis ekonomi pada periode Presiden BJ Habibie, rata-rata impor beras tahunan terbesar terjadi pada masa Presiden Jokowi, ” ini sangat memprihatinkan,kita sebagai negara Agraris tapi tergantung Import pangan dari negara lain yang lebih kecil luas lahan pertaniannya,” pungkas Wibisono.
Sementara itu, Beni Yussandra SE, Ketua Serikat Petani Indragiri cukup menyayangkan besarnya impor komoditi pertanian dari luar negeri. “Semestinya Pemerintah telah memikirkan langkah dan solusi konkrit sejak awal untuk mengurangi tingkat ketergantungan pada negara lain,” katanya.
Beni menilai bahwa program-program yang dilakukan Pemerintah cenderung berbentuk seremonial semata, sehingga belum terlihat efeknya pada kemajuan bidang pertanian.
Di Indragiri Hilir Riau saja, belum terlihat secara signifikan peran Pemerintah, terutama instansi terkait dalam pengembangan bidang pertanian. Dari hasil penjajakan dalam beberapa waktu, Pemerintah terkesan absen dalam pengembangan dunia pertanian.
“Belum terlihat program nyata dari Dinas terkait di Inhil. Bantuan untuk petani pun terkesan ‘vested interest’, yakni hanya pada kepentingan pihak tertentu, kita merasakan hal itu,” ungkapnya.
Bagaimana berbicara skala besar, jika dalam lingkup yang paling kecil, Pemerintah dinilai masih keteteran dalam memberdayakan pertanian, pungkasnya. (fadil/pr)