oleh

Wibisono : Konflik Natuna Dengan China, Presiden Harus Tegas

Jakarta, (PR)

Awal tahun 2020 kita dikejutkan provokasi kapal China yang masuk ke ZEE (Zona ekonomi ekslusif) di Kepulauan Natuna. Presiden Joko Widodo harus memperlihatkan ketegasan dan kemampuan diplomasi terkait sengketa perairan Natuna dengan China.

Menurut pengamat militer Wibisono mengatakan bahwa pengerahan kapal perang dan pesawat tempur di Natuna hanya akan berfungsi ‘show of force’ saja, tapi tidak efektif karena kapal nelayan asing akan tetap masuk ke wilayah tersebut.

Mengapa ? “Semua alat perang itu hanya kelihatan gagah di Pangkalan tapi tidak di tengah laut. Nelayan asing tahu kalau kapal perang itu hanya temporer patroli, tidak mungkin 24 jam sehari 7 hari dalam seminggu 30 hari dalam sebulan apalagi 360 hari dalam setahun,” ujar Wibi, Sabtu sore (11/1/2020).

“Di celah waktu ketidakhadiran itulah mereka akan masuk kembali. Mereka juga tahu bahwa kapal perang tidak akan menembak kapal China (berdasarkan hukum internasional),” ulas Wibi.

Sedangkan yang harus dilakukan Pemerintah adalah meningkatkan kapasitas armada nelayan kita agar mampu menyaingi nelayan asing dalam menangkap ikan di wilayah Natuna.

Kehadiran nelayan kita secara rutin adalah lebih efektif dari kapal perang untuk mencegah dan mengusir nelayan asing. Selanjutnya perlu dipahami realitas masyarakat kita di Pulau-Pulau sekitar wilayah Laut China mulai dari kepulauan Natuna, Serasan sampai dengan Karimata. Karena saat ini suplai sembako dan kebutuhan lain lebih banyak tergantung pada kapal nelayan asing, makanya kalau dilihat dari aspek kelancaran suplai dan harga lebih murah dibandingkan dengan yang bisa disuplai dari dalam negeri.

Selain itu telah menjadi rahasia umum bahwa telah berlangsung lama adanya kolaborasi/konspirasi antara para pengusaha ikan asing dari Thailand, Vietnam, Singapore, China dengan pihak dalam negeri.

“Banyak kapal nelayan asing tersebut menangkap ikan di ZEE maupun di laut teritorial kita menggunakan bendera Indonesia atas nama koperasi dari instansi tertentu atau badan usaha lain. Ini harus ditertibkan,” tandas Wibi.

Selanjutnya, ada banyak perang yang terjadi karena kegagalan diplomasi, namun ada banyak juga perang yang berhasil dicegah karena kepiawaian diplomasi. “Meski tak jarang harus didahului oleh kekerasan politik maupun militer,” kata Wibi membeberkan.

Wibi lebih lanjut juga menyoroti sikap Jokowi yang berlawanan dengan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan dalam persoalan ini.

“Silang pendapat tersebut tak terlalu penting karena Jokowi memiliki otoritas tertinggi di Pemerintahan Indonesia. Ketegasan Jokowi harus diiringi dengan aksi nyata. Silang pendapat yang tidak penting, keputusan soal sikap sepenuhnya ada di tangan Presiden dengan segala risiko yang menyertai. Bukan di tangan para pembantunya, apapun keputusannya NKRI harus dipertahankan sampai mati,” pungkas Wibi. (beni/pr)

Komentar