Jakarta, (PR)
Indonesia sebagai negara besar membutuhkan pengikat persatuan dan kesatuan. Ini penting karena kebhinekaan yang dimiliki Indonesia sangat beragam dan kompleks. Selama ini peran pengikat itu dilakukan dengan sangat baik oleh dasar negara kita yaitu Pancasila. Namun seiring berjalannya waktu terutama pasca reformasi, peranan Pancasila sebagai falsafah hidup dalam bermasyarakat mulai pudar.
Pengamat militer Wibisono mengatakan bahwa sejak berdirinya bangsa ini tidak satu pun orang menolak Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Tak satupun penulis secara ilmiah berani menyampaikan bahwa Pancasila bukan ideologi dan dasar negara.
“Lantas muncul pertanyaan ? Kalau memang Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara kenapa tidak disebut dalam Undang Undang Dasar ? Sedang di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar pada alenia ke-empat langsung disebut 5 sila dalam Pancasila,” kata Wibisono di Jakarta, Sabtu sore (2/11/2019).
Lanjut Wibi, mengenai tidak ditegaskan Pancasila sebagai dasar negara di dalam UUD, karena ada kekhawatiran kalau disebut dalam UUD nantinya akan diamendemen.
“Saat UUD 1945 diamandemen disepakalti ada beberapa yang tidak boleh diubah, di antaranya Pembukaan UUD dan bentuk negara kesatuan Republik Indonesia, (NKRI), Maka ditambahkan saja pasal dalam UUD bahwa Pancasila tak bisa diubah dengan cara apa pun,” jelas Wibi.
Sejak UUD 1945 yang palsu dan manipulatif itu (Amandemen 2002) diberlakukan, Pancasila sudah tidak lagi sebagai dasar negara kita. Memang 5 sila itu disebut di dalam Pembukaan UUD, tapi apalah artinya jika apa yang tertuang di dalam Pembukaan itu. Tak dijabarkan atau dituangkan di batang tubuh UUD yang berupa Pasal-Pasal, bahkan dalam kenyataannya bertentangan. Misalkan kata *efisiensi* dalam Ayat 4 Pasal 33, jelas berlawanan dengan semangat gotong royong untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Demikian pula Pasal-Pasal tentang Pemilu dan Pilpres, jelas menutup rapat semangat dari sila ke empat ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’.
“Menurut hemat saya, kita sekarang berada dalam sikon desain pembelahan horizontal yang sangat berbahaya, sedangkan kekuasaan mengelola negara hanya dikuasai oleh Ketua-Ketua partai para elite di Pemerintahan serta kroni-kroninya, sementara mereka sendiri dikuasai pula oleh para kapitalis /konglomerat dalam Nlnegeri maupun dari luar negeri,” ungkap Wibi.
Wibisono menambahkan bahwa sistem politik yang sesuai untuk masyarakat Pancasila adalah yang ada dalam UUD 1945 sebelum ada amandemen empat kali, maka dari itu seruan untuk kembali ke UUD 45 sudah mulai didengungkan oleh beberapa tokoh nasional dan Ketua partai politik.
Jadi jelas, bahwa sekarang ini Pancasila tidak ada dalam sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia, dan orang orang atau para pejabat negara yang gembar-gembor sok Pancasilais itu ternyata pembohong (hipokrit).
“Mari kita bangun kehidupan berdasarkan Pancasila, tapi nyatanya belum ada, oleh sebab itu harus kita perjuangkan,” tegas Wibi.
Terakhir, kita harus membangun narasi yang baik, jelas dan tegas bahwa Pancasila sekarang ini tidak ada dalam sistem politik dan UUD 1945 yang palsu (UUD Amandemen 2002), kecuali sekedar hiasan di Pembukaan.
“Pembukaan tulisan jelas bahwa Pancasila belum terwujud di bumi Indonesia. Maka kita wajib kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen, UUD 1945 versi 18 Agustus 1945. Dalam rangka berjuang untuk mengatasi Kemiskinan masyarakat yang masih luas,” pungkas Wibi. (beni/pr)