Jakarta, (PR)
Kesenjangan pengetahuan tentang Pemilu antara KPU dan Bawaslu dibandingkan dengan Panwaslu di tingkat Kecamatan dan KPU daerah, utamanya dengan Panitia Pemilihan menjadi dinamika baru jelang Pemilu serentak pada tanggal 17 April 2019 mendatang.
“KPU dan Bawaslu harus segera respon agar semua proses berjalan sesuai peraturan dan Undang-Undang,” ungkap Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali saat rapat kerja dengan Mendagri, KPU dan Bawaslu di Jakarta (9/1/2018).
Termasuk modus yang dilakukan pelaksana di tingkat bawah dengan memunculkan nama calon jadi dan bukan calon jadi lebih dini. “Ini praktek yang sama dengan Pemilu 2014 yang lalu. Yang istilahnya disebut suara grosir yang bisa dibeli caleg dari KPU di daerah dengan tanpa capek capek turun berkampanye di daerah pemilihannya,” kata Agus Makmur Santosa dari Fraksi Partai Golkar.
“Pada tingkat pengawasan, cara munculnya beda lagi dengan berdalih sebagai wartawan ikut-ikutan mengawasi saya. Setelah saya desak dan jelaskan bahwa saya adalah anggota Komisi II DPR yang sedang melakukan pengawasan,” ujarnya.
“Oknum tersebut, akhirnya, baru mau mengakui dirinya sebagai Panwaslu dari Giri Mukti Dapil Jabar II,” jelas Agus.
Yang semestinya, ujar Zainudin, cara-cara kerja KPU dan Panwaslu bukan dengan cara seperti intel dengan cara menyamar.
“Makanya, saya langsung menolak saat ada Panwaslu di Kecamatan Bandar Negeri Semong, Kabupaten Tanggamus, Propinsi Lampung. Yang minta uang transport setelah selesai melakukan pengawasan kepada saya,” kata Endro Suswantoro Yahman dari Fraksi PDI Perjuangan.
“Yang dalam bayangan saya, apabila saya jadi memberikan uang yang diminta oleh oknum Panwaslu tersebut. Saya akan
bisa dijerat pidana Pemilu dan nama saya bisa langsung dicoret dari caleg”, jelasnya.
Untuk itulah, ia tetap masih berharap agar independensi KPU dan Panwaslu di daerah agar tetap dijaga. Meski KPU dan Panwaslu di daerah telah banyak dibantu fasilitas oleh kepala daerah dari mulai kantor sampai mobil, kata Hendro lagi.
Lain lagi dengan Thabrani Makmun yang tak luput dari modus pengawasan Panwas setempat meski telah dijelaskan dirinya mau turun ke daerah dalam rangka melakukan reses sebagai anggota Komisi II.
“Bahkan saya harus sampai mengeluarkan surat dinas saya. Baru Panwaslu percaya dan pura-pura memfotonya. Ini terjadi di dua tempat di Rokan Hilir dan Selat Panjang Propinsi Riau,” ungkap Thabrani. (Erwin Kurai)