Allah SWT menegaskan kepada manusia,”Pintalah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan” kemudian “Akan Aku tambahkan nikmat bagi orang-orang yang pandai bersyukur”. Statement itu langsung dari Allah, Tuhan semesta alam yang menggaungkan kalam-Nya kepada manusia. Namun bagaimana seterusnya terhadap janji Allah itu pada hamba yang selalu meminta dan bersyukur itu ? Ini tentunya dapat dirasakan oleh kita semua hingga saat ini.
Pada dasarnya manusia itu memiliki sifat yang selalu merasa kurang meskipun telah dianugerahi berbagai macam nikmat dan kesenangan. Itulah sifat yang sangat manusiawi. Namun bagaimana pula kiranya kalau nilai-nilai islami itu mulai bergeser ke arah liberal sehingga berkurangnya rasa syukur itu ? Dengan menyanjung kata ‘demokrasi’ berusaha mengelabui rakyat hanya untuk kepentingan pribadi dan politik semata. Inilah salah satu fenomena yang terjadi di bumi lancang kuning ini.
Walau secara tidak langsung, persoalan ini mendera seluruh tanah air Indonesia, namun penulis mencoba mengkerucutkan fokus ke Propinsi Riau. Setidaknya sebagai pelaku sejarah di negeri ini yang cukup merasakan pahit getirnya hidup di Propinsi yang konon di atas minyak di bawah minyak ini.
Ada perubahan tatanan kehidupan sejak beberapa tahun belakangan. Budaya melayu yang kental nuansa agamis seakan tergerus perkembangan zaman. Terkadang, ada yang berfikir bahwa hanya pemimpin, majikan, big bos, toke dan lain sebagainya tempat mencari penghidupan itu. Walau tidak sepenuhnya benar, namun kenyataan yang dilihat menjadi jawaban atas apa yang terjadi.
Ketika kita meminta kepada Allah SWT, niscaya permintaan kita itu pasti dikabulkan karena Allah SWT Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Allah SWT tidak pernah membedakan latar belakang, pangkat dan jabatan maupun yang lainnya, apalagi masalah politik. Namun ketika manusia dihadapkan pada persoalan ‘demokrasi’ yang digadang-gadangkan oleh Amerika ini, justeru merubah segalanya. Pemimpin yang terpilih dan penguasa demokrasi itulah yang berhak menentukan siapa dan apa yang harus dikabulkan.
Begitupun terhadap calon-calon pemimpin kedepan, kalaulah tidak sesuai doa restu sang pemilik Partai, sangat sulit untuk memperoleh perahu meskipun telah berdoa berkali-kali pada sang Khalik. Artinya ada kekuatan manusia yang bisa merubah tatanan kehidupan itu, walau bersifat sementara.
Namun yang pasti kehidupan dunia sementara inipun masih menjadi primadona bagi sebahagian kita. Selihai dan sepintar apapun rencana manusia, tetapi Allah mempunyai rencana pula yang tiada sesuatupun yang mengetahuinya. “Innahum yakiduna kaida, wa akidu kaida” (Sesungguhnya mereka merencanakan suatu tipu daya yang sebenar-benarnya, Dan Aku-pun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya) QS: At Thariq ayat 15-16.
Mirisnya kehidupan masyarakat Propinsi Riau ini dapat dilihat dari golongan pribumi kelas menengah ke bawah. Namun bagi kaum Muhajirn (pendatang), Propinsi Riau merupakan suatu berkah untuk mencari kehidupan. Bagaimana tidak, apapun usaha yang dilakukan jika dilaksanakan sedemikian rupa tentu akan berbuah hasil. Tidak peduli usaha itu berkonotasi positif ataupun negatif (halal atau haram). Yang penting asal ada peluang, agiah tarui, bahasa lebih pasnya lagi.
Konsep cara meminta dan cara bersyukur daerah mesti berbeda tergantung budaya. Namun, apa yang telah ditunjukkan nenek moyang di bumi melayu ini juga memperlihatkan kearifan lokal dan cara syukur. Misalnya dalam hal eksploitasi sumber daya zaman bahari, nenek moyang melayu biasanya pasti akan meninggalkan sisanya untuk di kemudian hari. Bahasa yang selalu diperdengarkan orang-orang tua dahulu, alasan mereka adalah untuk kehidupan anak cucu mereka kedepan. Apapun yang diusahakan pasti mereka selalu ingat untuk anak cucu.
Misalnya dalam perambahan hutan, pembukaan hutan dan kebun, bahkan menjala ikan pun kalau sudah dapat untuk makan hari ini sudahlah, besok ya besok pula jangan sampai dihabiskan, karena masih banyak yang membutuhkan, sebuah kalimat redaksi dari orang-orang tua dahulu. Namun seiring perkembangan zaman, budaya semacam itu seakan punah. Hari ini, kalau masih ada sisa yang digarap, pasti langsung dihabiskan tanpa memikirkan untuk anak cucu kedepan. Artinya eksploitasi secara rakus merupakan trend pemikiran manusia masa kini demi kebutuhan hidup yang makin meningkat. Kemudian, setelah memperoleh rezeki dari bumi melayu ini pun, bentuk perwujudan rasa syukur mulai hilang. Yang ada hanya kehidupan glamor dan foya-foya. Tak jarang pendistibusian hasil itu justeru tidak kepada orang-orang yang pandai bersyukur pula sehingga makin jauhlah dari kehidupan yang diajarkan nenek moyang sebelumnya.
Di bidang politik, meminta sesuatu hal itu haruslah kepada pemegang kekuasaan pula. Kalau sebelumnya telah ada ‘clash’ dengan pemegang kekuasaan, alamat apa yang diminta tidak akan kunjung tiba. Pemimpin dan pemegang kekuasaan memiliki otoritas penuh terhadap pengabulan permintaan masyarakat politiknya. Azaz manfaat sangat diterapkan dalam kehidupan politik saat ini. Istilahnya, kalau tidak dukung saya, tidak akan saya kasih. Bisa juga alibi kalau tidak ada untungnya bagi saya atau jabatan saya, tidak perlu dibantu. Sungguh ironis memang, namun apa yang terjadi ada benarnya, walau dalam statemen seseorang itu tidak demikian, namun kenyataan yang ada telah berbicara.
Fakta di bidang politik dan pemerintahan saat ini, adalah pamrih. Tidak ada makan siang gratis. Semuanya berdasar azas manfaat, ataupun harus ada sesuatu yang berguna diperoleh dari orang yang ditemani, sesuai dengan salah satu kalimat orang minang, Talunjuak manunjuak, kalingking mangaik. Apapun konsep politiknya, hari ini tetap berdasarkan kepada kehendak pemegang kuasa. Kalau manusia sudah berkuasa, tentu cara meminta masyarakatnya berdasarkan selera dan aturan manusia yang berkuasa itu. Kalau masyarakatnya bersyukur kepada penguasanya, caranya tentu melayani kehendak penguasa. Imbasnya adalah masyarakat itu akan dikondisikan secara sempurna oleh sang penguasa itu. Demikian seterusnya dan seterusnya…***
Oleh : Beni Yussandra, SE (Pimpinan Redaksi Putera Riau)